Child - Us

Child - Us
with Sanggar Waringin's child

Rabu, 01 Oktober 2014

Anak Yang Dilacurkan (AYLA)



PERLINDUNGAN UNTUK AYLA

(ANAK YANG DILACURKAN)



Mamah Halimah       170310110005          mamahhalimah01@gmail.com
Dian Haerunisa        170310110006           haerunisadian@gmail.com
Nurul Fadhilah R     170310110021           fadhilahrezeki@gmail.com 
Dessy Fitri Pratiwi   170310110034           dessyfitripratiwi@gmail.com
Anis Soraya              170310110058          anissoraya25@gmail.com
Rizkia Annisa F       170310110074           rizkiafrabandani@gmail.com


Anak yang dilacurkan (AYLA) merupakan istilah yang muncul untuk menggantikan istilah pelacur anak. Penggantian istilah ini muncul karena anak dianggap belum mampu untuk mengambil keputusan atas dirinya sendiri hingga akhirnya mereka menjadi pekerja seks. Konvensi Hak Anak, bagian 1, pasal 1 menjelaskan bahwa
“anak berarti setiap manusia yang berusia di bawah delapan belas tahun kecuali, berdasarkan undang-undang yang berlaku untuk anak-anak, kedewasaan telah dicapai lebih cepat”
Walaupun anak yang sudah menginjak usia 13 tahun ke atas, dianggap sudah dapat membedakan mana saja hal yang benar dan yang salah, namun tetap saja banyak faktor lain yang memaksa mereka hingga akhirnya mereka memutuskan untuk menjadi pekerja seks. Tidak jarang mereka menjadi pekerja seks karena mereka “dipaksa” atau pernah menjadi korban pemerkosaan. Hal tersebut menimbulkan “rasa tidak berharga” pada diri mereka sendiri, hingga akhirnya mereka mengganggap tidak menjadi suatu masalah jika menjajakan tubuh mereka.
Istilah anak yang dilacurkan menyatakan posisi anak sebagai korban dan menegaskan bahwa tindakan menjerumuskan anak kedalam pelacuran merupakan suatu kejahatan. Selain itu, menurut definisi yang tercantum dalam Protokol Tambahan Atas Konvensi PBB Menentang Tindak Kejahatan Terorganisasi Transnasional (The Supplemental Protocol To The Convention Against Transnasional Organize Crime) Tahun 2004, dinyatakan bahwa siapa saja yang berusia kurang dari 18 tahun yang bekerja di bidang pelacuran, maka mereka dianggap sebagai korban perdagangan manusia (human trafficking). Hal tersebut menjelaskan mengapa AYLA sering kali berkaitan dengan perdagangan manusia.
Bisnis pelacuran, di dunia sudah berlangsung sejak zaman dahulu. Di Indonesia sendiri bisnis pelacuran ada sejak zaman penjajahan, bahkan sebelum zaman kolonial Belanda seperti yang dikatakan Farida (2012). Bisnis pelacuran dimana pun itu menjadi masalah yang sulit diberantas dan sudah seperti mafia. Dalam penelitiannya Farida (2012) juga menyatakan bahwa di daerah jawa saja, paling tidak terdapat 11 komunitas “pemasok” para pekerja seks. Banyaknya bisnis seperti di wilayah-wilayah, mengakibatkan anak yang tumbuh dan berkembang di daerah sana sulit untuk keluar dari “lingkaran setan ini”. Menurut Saptari (1997 dalam Farida, 2013:2), ada beberapa faktor yang mendorong seseorang menjadi pelacur, yaitu :
“Pertama, karena keadaan ekonomi atau kondisi kemiskinan rumah tangga perempuan pelacur. Kedua, karena pandangan tentang seksualitas yang cenderung menekankan arti penting keperawanan sehingga tidak memberikan kesempatan bagi perempuan yang sudah tidak perawan kecuali masuk ke dalam peran yang diciptakan untuk mereka. Ketiga, karena sistem paksaan dan kekerasan hal tersebut memaksa anak untuk melakukannya.”
Menurut Andri (2002 dalam Farida, 2013:2) menjelaskan faktor pendorong anak terlibat dalam perdagangan anak yang dilacurkan,
“antara lain disebabkan oleh kemiskinan; utang-piutang; riwayat pelacuran dalam keluarga; permisif dan rendahnya kontrol sosial; rasionalisasi; dan stigmatisasi, serta nilai spiritual dan nilai budaya yang lemah.
Shalahuddin (2010), menyatakan bahwa anak yang dilacurkan menimbulkan berbagai efek baik langsung terhadap anak yang dilacurkan maupun masyarakat. Anak yang dilacurkan sebagai korban akan mendapat dampak negatif baik dari aspek biologis, psikologis, sosial, maupun spiritualnya. Dampak biologis anak yang dilacurkan biasanya terdapat luka-luka sekujur tubuh akibat tindak kekerasan pemukulan, kerusakan organ reproduksi, kehamilan yang tidak diinginkan, terinfeksi penyakit menular seksual bahkan HIV/AIDS, kekurangan gizi/malnutrisi, dan masalah pernapasan.
Dampak psikologis pada anak yang dilacurkan tentu mengalami trauma yang mendalam karena pengalaman buruk yang dialaminya, stress bahkan hingga depresi, berpikiran untuk bunuh diri, kehilangan kepercayaan diri dan harga diri, dihantui perasaan bersalah, timbul rasa takut, sering mimpi buruk serta kehilangan kontrol atas diri sendiri. Sedangkan dampak sosial yang dialami anak yang dilacurkan akan timbul rasa curiga pada orang lain, merasa takut berada di keramaian, sulit bergaul, merasa minder karena sudah tidak memiliki harga diri, mendapatkan labeling negatif dari lingkungan sekitar, merasa diasingkan dari lingkungan, merasa tidak dihargai dan menolak uuntuk bersosialisasi dengan orang sekitar dan bahkan mendapatkan sanksi sosial, yaitu ditolak keberadaannya oleh lingkungan sosial.
Adapun dampak spiritual yang dialami anak yang dilacurkan merasa malu pada Tuhan bahkan ada kemungkinan untuk tidak bertaubat atau semakin menjauh dari Tuhan sehingga mereka menganggap bahwa Tuhan itu tidak ada. Selain dampak biospikososial dan spiritual pada anak yang dilacurkan, masyarakat sekitar pun mendapatkan dampaknya, seperti menimbulkan rasa tidak nyaman/ terganggu dengan keberadaan atau kehadiran AYLA, meningkatnya angka kekerasan seksual pada anak, meningkatnya permintaan akan AYLA, meningkatnya resiko penyebaran HIV/AIDS, dan lain sebagainya.
Berdasarkan berita yang dimuat di laman detik.com, dikatakan bahwa menurut koordinator ECPAT (End Child Prostitution and Trafficking) tercatat transaksi lebih dari USD 2 juta/tahun dilakukan oleh pembeli seks anak via online. Hal ini juga dipicu dengan meningkatnya penggunaan internet di Indonesia dengan pesat karena Indonesia termasuk dalam daftar 10 negara dengan pengguna internet terbanyak seperti yang dilansir internetworldstat.com. ECPAT  juga memperkirakan
“jika diambil rata-rata 1 anak dijual dengan harga Rp 1 juta atau sekitar USD 100, maka diperkirakan setiap tahun ada 20.000 anak yang terlibat dalam jual beli seks 
“Di Indonesia sendiri pun terdapat data korban perdagangan orang yang didampingi IOM Medio Maret 2005-April 2008 sebanyak 3.127 korban denga proporsi 25,5% umur anak (laki-laki dan perempuan), 67,6% perempuan, dan 6,7% laki-laki dewasa (Laporan IOM Indonesia, 2008). Data Bareskrim Polri 2008 menunjukkan bahwa anak-anak dieksploitasi secara seksual terutama anak yang dilacurkan juga tinggi. Menurut hasil studi Hull dkk (1997) dan Farid (1999), anak yang dilacurkan mencapai 30 persen dari total prostitusi (40.000-70.000 atau bahkan lebih)”. (KLA.or.id)
Melihat kerugian dan dibutuhkannya perlindungan anak, dunia internasional dan khususnya pemerintah Indonesia tidak tinggal diam. Perlindungan anak dibuat kedalam konvensi HAK ANAK dan Indonesia memiliki Undang-Undang (UU) No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan juga UU No.21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, serta dalam hukum Islam sudah menjelaskan tentang perlindungan hukum terhadap anak yang menjadi korban pelacuran anak atau anak yang dilacurkan. Sehingga dengan kedua aturan hukum tersebut akan tercipta suatu tatanan kehidupan yang kondusif, aman dan nyaman bagi kehidupan seorang anak untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan kebutuhannya dan terciptalah kesejahteraan anak yang sudah diamanatkan oleh undang-undang.
Namun kedua undang-undang tersebut tidak memberikan porsi yang tinggi untuk pemberantasan seksual anak. Bahkan kedua undang-undang tidak menginformasikan definisi yang jelas tentang prostitusi anak, penjualan anak, dan eksploitasi anak. Padahal definisi sangat penting bagi penyidik untuk bisa mengkriminalisasi. Tanpa adanya definisi, polisi tidak akan bisa menduga dan menangkap orang yang melakukan kejahatan tadi bila tidak diatur dalam undang-undang, selain itu Indonesia juga telah mengesahkan undang-undang tentang ratifikasi protocol opsional konvensi hak-hak anak mengenai penjualan anak, prostitusi anak, dan pornografi anak. Namun hal tersebut belum cukup untuk menghentikan AYLA. Menurut ECPAT perlu langkah lanjutan oleh pemerintah dalam  perbaikan hukum sehingga upaya pemberantasan eksploitasi seksual pada anak tersebut bisa lebih efektif sehingga AYLA mendapatkan perlindungan hukum yang jelas. Jadi hukum yang ada di Indonesia agar segera memasukkan komponen tentang eksploitasi seks, dan juga pelakunya dikiriminalisasikan. (bantuancoffee.org)
Dalam pemberantasan AYLA, pemerintah tidak hanya bergerak sendiri. Saat ini ada banyak LSM baik yang bersifat nasional maupun internasional yang memfokuskan kerjanya pada AYLA, misalnya NAWALA, ECPAT, dan bantuancoffee.com. NAWALA, sebuah lembaga non-profit yang bergerak menapis situs-situs berbahaya termasuk situs eksploitasi seksual anak. DNS Nawala adalah layanan DNS yang bebas digunakan oleh pengguna akhir atau penyedia jasa internet untuk mendapatkan akses internet bersih dan aman. DNS Nawala melakukan penapisan situs-situs berkandungan negatif yang tidak sesuai dengan norma kesusilaan dan budaya Indonesia, seperti situs berkandungan pornografi atau perjudian. Selain itu DNS Nawala juga menapis situs-situs yang berbahaya dan melanggar aturan perundangan, seperti situs penipuan, malware dan phising. Nawala mencatat, ada 647.622 situs pornografi (termasuk pornografi anak) yang ditapis per 4 Juli 2013 oleh yayasan tersebut. Namun, jumlah situs-situs pornografi tetap terus bertambah setiap saat.
ECPAT (End Child Prostitution, Pornography dan Trafficking) merupakan lembaga yang memiliki misi untuk menghapuskan praktek-praktek eksploitasi seksual anak komersil di seluruh dunia. ECPAT kini memiliki perwakilan di 70 negara, termasuk Indonesia. Di Indonesia, ECPAT terdiri dari 22 LSM. ECPAT ini mengkhususkan diri pada isu atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual anak, seperti prostitusi anak, pornografi anak, dan perdagangan anak. ECPAT Indonesia telah melakukan advokasi, merawat, mendidik, dan melakukan riset sejak 1997. Selain itu, ECPAT Indonesia melakukan konseling terhadap anak-anak yang menjadi korban eksploitasi seksual sebagai bentuk perlindungan anak-anak yang menjadi korban eksploitasi seksual. (ecpatindonesia.org). Selain ECPAT, lembaga yang juga membantu para korban prostitusi dan perdagangan anak adalah Bantuancoffee.  Bantuancoffee merupakan lembaga yang membantu korban dari perdagangan dan prostitusi anak di Indonesia. Upaya yang dilakukan oleh lembaga ini adalah dengan memberikan beasiswa, rumah perlindungan dan konseling bagi para korban dari perdagangan dan prostitusi anak. (facebook.com/bantuancoffee)

Kesimpulan
Untuk mengatasi masalah Anak yang dilacurkan dibutuhkan kerjasama dari berbagai pihak, karena anak yang dilacurkan (prostitusi anak) merupakan kejahatan yang terorganisir dan sulit dideteksi keberadaannya secara keseluruhan. AYLA merugikan banyak pihak baik anak terkait, maupun masyarakat luas. Perkambangan teknologi yang terjadi dapat dimanfaatkan oleh para pelaku untuk mengembangkan bisnis mereka. Pentingnya penanganan AYLA tidak cukup dari peraturan pemerintahan saja  melainkan dibutuhkan dari berbagai faktor baik faktor internal maupun faktor eksternal. Pentingnya penanganan AYLA  juga sudah diperhatikan dunia internasional, hal tersebut terlihat dari banyaknya LSM yang turut bekerja sama untuk memberantas AYLA.

Daftar pustaka

Jurnal :
Farida, Yanuar. 2012. PEREMPUAN DALAM JARINGAN PERDAGANGAN ANAK YANG DILACURKAN DI KOTA SURABAYA. Sosiokonsepsia vol. 17 :117-133

Sumber Elektronik :
Pramudiardja,  AN Uyung. 2014. “Pelacuran Anak di Indonesia, Transaksi Online Mencapai USD 2 Juta/Tahun”. http://health.detik.com/read/2014/07/23/111724/2645611/1301/pelacuran-anak-di-indonesia-transaksi-online-mencapai-usd-2-juta-tahun
Rahmat, Muhammad Taufik. 2011. “Anak-Anak Yang Dilacurkan (Realitas yang terjadi di Indonesia)”. http://www.scribd.com/doc/67132989/Anak-Anak-Yang-Dilacurkan-Realitas-yang-terjadi-di-Indonesia
Shalahuddin, Odi. 2010. “Situasi dan Kondisi Anak yang Dilacurkan di Indonesia”. http://odishalahuddin.wordpress.com/2010/02/03/situasi-dan-kondisi-anak-yang-dilacurkan-di-indonesia-5/
Sofian, Ahmad. 2014. “Kekerasan Seksual (Online) Pada Anak Di Indonesia: Sebuah Respon Atas Kebijakan Negara”. http://business-law.binus.ac.id/2014/01/03/kekerasan-seksual-online-pada-anak-di-indonesia-sebuah-respon-atas-kebijakan-negara/
 [Tanpa Nama]. 2014. ”Kriminalisasikan Pelaku Prostitusi Anak” .http://ecpatindonesia.org/publikasi-media/kriminalisasikan-pelaku-prostitusi-anak/
[Tanpa Nama]. 2013-2014. [tanpa judul spesifik]. http://www.bantuancoffee.org/news
[Tanpa Nama]. 2012. “Anak Indonesia Rentan Kejahatan Siber”. http://www.beritasatu.com/megapolitan/80211-anak-indonesia-rentan-kejahatan-siber.html
[Tanpa Nama]. 2014. “Pelacuran anak”. http://id.wikipedia.org/wiki/Pelacuran_anak
[Tanpa Nama]. [Tanpa Tahun]. “Tentang Kami”. http://www.nawala.id/tentangkami
[Tanpa Nama]. [Tanpa Tahun]. “About”. https://www.facebook.com/BantuanCoffee/info?ref=page_internal

Sumber Prosiding Seminar :
Farida, Yanuar. 2013. PERDAGANGAN ANAK PEREMPUAN YANG DILACURKAN; Potret Suram Kemiskinan Versus Perlindungan Anak. Dipaparkan dalam CONFERENCE ON CHILD POVERTY AND SOCIAL PROTECTION. Grand Sahid Jaya Hotel Jakarta, 10–11 September.

Sumber Lainnya :
Konvensi Hak Anak, Tahun1989. 
Protokol Tambahan Atas Konvensi PBB Menentang Tindak Kejahatan Terorganisasi Transnasional (The Supplemental Protocol To The Convention Against Transnasional Organize Crime) Tahun 2004
Undang-undang No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Undang-undang No.21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.


1 komentar:

  1. The Top 10 Casinos Near Santa Barbara (CA) - Mapyro
    Casinos with Best Rate — 익산 출장안마 Casinos with Best 전라남도 출장마사지 Rate. Casinos with Best Rate. 전주 출장샵 Las Atlantis: $15,000 · Casinos with 이천 출장샵 Best 의왕 출장안마 Rate. Monaco: $15,000 · Casino at Caesars

    BalasHapus