PERLINDUNGAN UNTUK AYLA
(ANAK YANG DILACURKAN)
Mamah Halimah 170310110005 mamahhalimah01@gmail.com
Dian Haerunisa 170310110006 haerunisadian@gmail.com
Nurul Fadhilah R 170310110021 fadhilahrezeki@gmail.com
Dessy Fitri Pratiwi 170310110034 dessyfitripratiwi@gmail.com
Anis Soraya 170310110058 anissoraya25@gmail.com
Rizkia Annisa F 170310110074 rizkiafrabandani@gmail.com
Anak
yang dilacurkan (AYLA) merupakan istilah yang muncul untuk menggantikan istilah
pelacur anak. Penggantian istilah ini muncul karena anak dianggap belum mampu
untuk mengambil keputusan atas dirinya sendiri hingga akhirnya mereka menjadi
pekerja seks. Konvensi Hak Anak, bagian 1, pasal 1 menjelaskan bahwa
“anak berarti setiap manusia yang berusia di bawah delapan belas tahun kecuali, berdasarkan undang-undang yang berlaku untuk anak-anak, kedewasaan telah dicapai lebih cepat”
Walaupun
anak yang sudah menginjak usia 13 tahun ke atas, dianggap sudah dapat
membedakan mana saja hal yang benar dan yang salah, namun tetap saja banyak
faktor lain yang memaksa mereka hingga akhirnya mereka memutuskan untuk menjadi
pekerja seks. Tidak jarang mereka menjadi pekerja
seks karena mereka “dipaksa” atau pernah menjadi korban pemerkosaan. Hal
tersebut menimbulkan “rasa tidak berharga” pada diri mereka sendiri, hingga akhirnya mereka
mengganggap tidak menjadi suatu masalah jika menjajakan tubuh
mereka.
Istilah
anak yang dilacurkan menyatakan posisi anak sebagai korban dan menegaskan bahwa
tindakan menjerumuskan anak kedalam pelacuran merupakan suatu kejahatan. Selain
itu, menurut definisi yang tercantum
dalam Protokol Tambahan Atas Konvensi PBB Menentang Tindak Kejahatan Terorganisasi
Transnasional (The Supplemental Protocol
To The Convention Against Transnasional Organize Crime) Tahun 2004, dinyatakan bahwa siapa
saja yang berusia kurang dari 18 tahun yang bekerja di bidang pelacuran, maka
mereka dianggap sebagai korban perdagangan manusia (human trafficking). Hal tersebut menjelaskan mengapa AYLA sering
kali berkaitan dengan perdagangan manusia.
Bisnis
pelacuran, di dunia sudah berlangsung sejak zaman dahulu. Di Indonesia sendiri
bisnis pelacuran ada sejak zaman penjajahan, bahkan sebelum zaman kolonial
Belanda seperti yang dikatakan Farida (2012). Bisnis pelacuran dimana pun itu
menjadi masalah yang sulit diberantas dan sudah seperti mafia. Dalam
penelitiannya Farida (2012) juga menyatakan bahwa di daerah jawa saja, paling
tidak terdapat 11 komunitas “pemasok” para pekerja seks. Banyaknya bisnis
seperti di wilayah-wilayah, mengakibatkan
anak yang tumbuh dan berkembang di daerah sana sulit untuk keluar dari
“lingkaran setan ini”. Menurut Saptari (1997 dalam Farida, 2013:2), ada
beberapa faktor yang mendorong seseorang menjadi pelacur, yaitu :
“Pertama, karena keadaan ekonomi atau kondisi kemiskinan rumah tangga perempuan pelacur. Kedua, karena pandangan tentang seksualitas yang cenderung menekankan arti penting keperawanan sehingga tidak memberikan kesempatan bagi perempuan yang sudah tidak perawan kecuali masuk ke dalam peran yang diciptakan untuk mereka. Ketiga, karena sistem paksaan dan kekerasan hal tersebut memaksa anak untuk melakukannya.”
Menurut
Andri (2002 dalam Farida, 2013:2) menjelaskan faktor pendorong anak terlibat
dalam perdagangan anak yang dilacurkan,
“antara lain disebabkan oleh kemiskinan; utang-piutang; riwayat pelacuran dalam keluarga; permisif dan rendahnya kontrol sosial; rasionalisasi; dan stigmatisasi, serta nilai spiritual dan nilai budaya yang lemah.”
Shalahuddin (2010), menyatakan
bahwa anak yang dilacurkan menimbulkan berbagai efek baik langsung terhadap
anak yang dilacurkan maupun masyarakat. Anak yang dilacurkan sebagai korban
akan mendapat dampak negatif baik dari aspek biologis, psikologis, sosial,
maupun spiritualnya. Dampak biologis anak yang dilacurkan biasanya terdapat
luka-luka sekujur tubuh akibat tindak kekerasan pemukulan, kerusakan organ
reproduksi, kehamilan yang tidak diinginkan, terinfeksi penyakit menular
seksual bahkan HIV/AIDS, kekurangan gizi/malnutrisi, dan masalah pernapasan.
Dampak psikologis pada anak yang
dilacurkan tentu mengalami trauma yang mendalam karena pengalaman buruk yang
dialaminya, stress bahkan hingga depresi, berpikiran untuk
bunuh diri, kehilangan kepercayaan diri dan harga diri, dihantui perasaan
bersalah, timbul rasa takut, sering mimpi buruk serta kehilangan kontrol atas diri sendiri. Sedangkan dampak sosial yang dialami anak
yang dilacurkan akan timbul rasa curiga pada orang lain, merasa takut berada di
keramaian, sulit bergaul, merasa minder karena sudah tidak memiliki harga diri,
mendapatkan labeling negatif dari lingkungan sekitar, merasa
diasingkan dari lingkungan, merasa tidak dihargai dan menolak uuntuk
bersosialisasi dengan orang sekitar dan bahkan mendapatkan sanksi sosial,
yaitu ditolak keberadaannya oleh lingkungan sosial.
Adapun dampak spiritual yang
dialami anak yang dilacurkan merasa malu pada Tuhan bahkan ada kemungkinan
untuk tidak bertaubat atau semakin menjauh
dari Tuhan sehingga mereka menganggap bahwa Tuhan itu tidak ada. Selain dampak biospikososial dan
spiritual pada anak yang dilacurkan, masyarakat sekitar pun mendapatkan
dampaknya, seperti menimbulkan rasa tidak nyaman/ terganggu dengan
keberadaan atau kehadiran AYLA, meningkatnya angka kekerasan seksual pada anak, meningkatnya permintaan akan
AYLA, meningkatnya resiko penyebaran HIV/AIDS, dan lain sebagainya.
Berdasarkan berita yang dimuat di
laman detik.com, dikatakan bahwa menurut koordinator ECPAT (End Child
Prostitution and Trafficking) tercatat transaksi lebih dari USD 2 juta/tahun
dilakukan oleh pembeli seks anak via online. Hal ini juga dipicu
dengan meningkatnya penggunaan internet di Indonesia dengan pesat karena Indonesia
termasuk dalam daftar 10 negara dengan pengguna internet terbanyak seperti yang dilansir internetworldstat.com. ECPAT juga memperkirakan
“jika diambil rata-rata 1 anak dijual dengan harga Rp 1 juta atau sekitar USD 100, maka diperkirakan setiap tahun ada 20.000 anak yang terlibat dalam jual beli seks”
“Di Indonesia sendiri pun terdapat data korban perdagangan orang yang didampingi IOM Medio Maret 2005-April 2008 sebanyak 3.127 korban denga proporsi 25,5% umur anak (laki-laki dan perempuan), 67,6% perempuan, dan 6,7% laki-laki dewasa (Laporan IOM Indonesia, 2008). Data Bareskrim Polri 2008 menunjukkan bahwa anak-anak dieksploitasi secara seksual terutama anak yang dilacurkan juga tinggi. Menurut hasil studi Hull dkk (1997) dan Farid (1999), anak yang dilacurkan mencapai 30 persen dari total prostitusi (40.000-70.000 atau bahkan lebih)”. (KLA.or.id)
Melihat kerugian dan dibutuhkannya
perlindungan anak, dunia internasional dan khususnya pemerintah Indonesia tidak
tinggal diam. Perlindungan anak dibuat kedalam konvensi HAK ANAK dan Indonesia
memiliki Undang-Undang (UU) No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan
juga UU No.21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, serta dalam
hukum Islam sudah menjelaskan tentang perlindungan hukum terhadap anak yang
menjadi korban pelacuran anak atau anak yang dilacurkan. Sehingga dengan kedua
aturan hukum tersebut akan tercipta suatu tatanan kehidupan yang kondusif, aman
dan nyaman bagi kehidupan seorang anak untuk tumbuh dan berkembang sesuai
dengan kebutuhannya dan terciptalah kesejahteraan anak yang sudah diamanatkan
oleh undang-undang.
Namun kedua undang-undang tersebut tidak memberikan porsi
yang tinggi untuk pemberantasan seksual anak. Bahkan kedua undang-undang tidak menginformasikan definisi
yang jelas tentang prostitusi anak, penjualan anak, dan eksploitasi anak.
Padahal definisi sangat penting bagi penyidik untuk bisa mengkriminalisasi.
Tanpa adanya definisi, polisi tidak akan bisa menduga dan menangkap orang yang
melakukan kejahatan tadi bila tidak diatur dalam undang-undang, selain itu Indonesia juga telah
mengesahkan undang-undang tentang ratifikasi protocol opsional
konvensi hak-hak anak mengenai penjualan anak, prostitusi anak, dan pornografi
anak. Namun hal tersebut belum cukup untuk menghentikan AYLA. Menurut ECPAT
perlu langkah lanjutan oleh pemerintah dalam
perbaikan hukum sehingga upaya pemberantasan eksploitasi seksual pada
anak tersebut bisa lebih efektif sehingga AYLA
mendapatkan perlindungan hukum yang jelas. Jadi hukum yang ada di Indonesia
agar segera memasukkan komponen tentang eksploitasi
seks, dan juga pelakunya dikiriminalisasikan. (bantuancoffee.org)
Dalam pemberantasan AYLA,
pemerintah tidak hanya bergerak sendiri. Saat ini ada banyak LSM baik yang
bersifat nasional maupun internasional yang memfokuskan kerjanya pada AYLA,
misalnya NAWALA, ECPAT, dan bantuancoffee.com. NAWALA, sebuah lembaga
non-profit yang bergerak menapis situs-situs berbahaya termasuk situs
eksploitasi seksual anak. DNS Nawala adalah layanan DNS yang bebas
digunakan oleh pengguna akhir atau penyedia jasa internet untuk mendapatkan
akses internet bersih dan aman. DNS Nawala melakukan penapisan situs-situs
berkandungan negatif yang tidak sesuai dengan norma kesusilaan dan budaya
Indonesia, seperti situs berkandungan pornografi atau perjudian. Selain itu DNS
Nawala juga menapis situs-situs yang berbahaya dan melanggar aturan
perundangan, seperti situs penipuan, malware dan phising. Nawala mencatat, ada 647.622 situs pornografi
(termasuk pornografi anak) yang ditapis per 4 Juli 2013 oleh yayasan tersebut.
Namun, jumlah situs-situs pornografi tetap terus bertambah setiap saat.
ECPAT (End
Child Prostitution, Pornography dan Trafficking) merupakan lembaga yang
memiliki misi untuk menghapuskan praktek-praktek eksploitasi seksual anak
komersil di seluruh dunia. ECPAT kini memiliki perwakilan di 70 negara,
termasuk Indonesia. Di Indonesia, ECPAT terdiri dari 22 LSM. ECPAT ini
mengkhususkan diri pada isu atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual anak,
seperti prostitusi anak, pornografi anak, dan perdagangan anak. ECPAT Indonesia
telah melakukan advokasi, merawat, mendidik, dan melakukan riset sejak 1997.
Selain itu, ECPAT Indonesia melakukan konseling terhadap anak-anak yang menjadi
korban eksploitasi seksual sebagai bentuk perlindungan anak-anak yang menjadi
korban eksploitasi seksual. (ecpatindonesia.org). Selain ECPAT, lembaga yang juga
membantu para korban prostitusi dan perdagangan anak adalah Bantuancoffee. Bantuancoffee merupakan lembaga yang membantu
korban dari perdagangan dan prostitusi anak di Indonesia. Upaya yang dilakukan
oleh lembaga ini adalah dengan memberikan beasiswa, rumah perlindungan dan
konseling bagi para korban dari perdagangan dan prostitusi anak.
(facebook.com/bantuancoffee)
Kesimpulan
Untuk
mengatasi masalah Anak yang dilacurkan dibutuhkan kerjasama dari berbagai
pihak, karena anak yang dilacurkan (prostitusi anak) merupakan kejahatan yang
terorganisir dan sulit dideteksi keberadaannya secara keseluruhan. AYLA
merugikan banyak pihak baik anak terkait, maupun masyarakat luas. Perkambangan
teknologi yang terjadi dapat dimanfaatkan oleh para pelaku
untuk mengembangkan bisnis mereka. Pentingnya penanganan AYLA tidak
cukup dari peraturan pemerintahan saja
melainkan dibutuhkan dari berbagai faktor baik faktor internal maupun
faktor eksternal. Pentingnya penanganan AYLA juga sudah diperhatikan dunia
internasional, hal tersebut terlihat dari banyaknya LSM yang turut bekerja sama
untuk memberantas AYLA.
Daftar pustaka
Jurnal :
Farida, Yanuar. 2012. PEREMPUAN
DALAM JARINGAN PERDAGANGAN ANAK YANG DILACURKAN DI KOTA SURABAYA.
Sosiokonsepsia vol. 17 :117-133
Sumber Elektronik :
Pramudiardja, AN Uyung. 2014. “Pelacuran Anak di Indonesia,
Transaksi Online Mencapai USD 2 Juta/Tahun”. http://health.detik.com/read/2014/07/23/111724/2645611/1301/pelacuran-anak-di-indonesia-transaksi-online-mencapai-usd-2-juta-tahun
Rahmat, Muhammad
Taufik. 2011. “Anak-Anak Yang Dilacurkan (Realitas yang terjadi
di Indonesia)”. http://www.scribd.com/doc/67132989/Anak-Anak-Yang-Dilacurkan-Realitas-yang-terjadi-di-Indonesia
Shalahuddin, Odi. 2010. “Situasi
dan Kondisi Anak yang Dilacurkan di Indonesia”. http://odishalahuddin.wordpress.com/2010/02/03/situasi-dan-kondisi-anak-yang-dilacurkan-di-indonesia-5/
Sofian, Ahmad. 2014. “Kekerasan
Seksual (Online) Pada Anak Di Indonesia: Sebuah Respon Atas Kebijakan Negara”. http://business-law.binus.ac.id/2014/01/03/kekerasan-seksual-online-pada-anak-di-indonesia-sebuah-respon-atas-kebijakan-negara/
[Tanpa Nama]. 2014. ”Kriminalisasikan Pelaku
Prostitusi Anak” .http://ecpatindonesia.org/publikasi-media/kriminalisasikan-pelaku-prostitusi-anak/
[Tanpa Nama]. 2013-2014. [tanpa
judul spesifik]. http://www.bantuancoffee.org/news
[Tanpa Nama]. 2012. “Anak
Indonesia Rentan Kejahatan Siber”. http://www.beritasatu.com/megapolitan/80211-anak-indonesia-rentan-kejahatan-siber.html
[Tanpa Nama]. 2014. “Pelacuran
anak”. http://id.wikipedia.org/wiki/Pelacuran_anak
[Tanpa Nama]. 2014. “Kondisi Korban
Perdagangan Orang”. http://kla.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=55:kondisi-korban-perdagangan-orang&catid=36:kekerasan-terhadap-anak&Itemid=57
[Tanpa Nama]. [Tanpa Tahun].
“Tentang Kami”. http://www.nawala.id/tentangkami
[Tanpa Nama]. [Tanpa Tahun].
“About”. https://www.facebook.com/BantuanCoffee/info?ref=page_internal
Sumber Prosiding Seminar :
Farida, Yanuar. 2013. PERDAGANGAN ANAK
PEREMPUAN YANG DILACURKAN; Potret Suram Kemiskinan Versus Perlindungan
Anak. Dipaparkan dalam CONFERENCE ON CHILD POVERTY AND SOCIAL PROTECTION. Grand
Sahid Jaya Hotel Jakarta, 10–11 September.
Sumber Lainnya :
Konvensi Hak Anak, Tahun1989.
Protokol Tambahan Atas Konvensi
PBB Menentang Tindak Kejahatan Terorganisasi Transnasional (The Supplemental
Protocol To The Convention Against Transnasional Organize Crime) Tahun 2004
Undang-undang No.23 tahun 2002
tentang Perlindungan Anak.
Undang-undang No.21 tahun 2007
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
The Top 10 Casinos Near Santa Barbara (CA) - Mapyro
BalasHapusCasinos with Best Rate — 익산 출장안마 Casinos with Best 전라남도 출장마사지 Rate. Casinos with Best Rate. 전주 출장샵 Las Atlantis: $15,000 · Casinos with 이천 출장샵 Best 의왕 출장안마 Rate. Monaco: $15,000 · Casino at Caesars