PERLINDUNGAN HAK PENDIDIKAN BAGI ANAK KORBAN BENCANA LUMPUR LAPINDO
Oleh:
Tundzirawati 170310110004
Tundzirawati 170310110004
Derin Darachita Pradini 170310110028
Metra Indri Naibaho 170310110052
Nadira Lubis 170310110072
Winda Mariyenda 170310110085
PENDAHULUAN
Tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia merupakan salah
satu negara dengan kondisi yang sangat rawan bencana. Hal ini diakibat dari
letak Indonesia secara geografis terletak diantara dua benua dan dua samudera
serta secara geologis berada dijalur tiga lempeng tektonik yang sering
mengalami gesekan sehingga mengakibatkan Indonesia sering terjadi bencana
seperti banjir, kekeringan, tanah longsor, Angin kencang, gempa bumi, tsunami,
gunung meletus dan lain sebagainya. Bencana yang tak kunjung selesai sampai
dengan saat ini adalah bencana lumpur lapindo di Sidoarjo Jawa Timur yang
berlangsung sejak tahun 2006.
Dampak dan efek dari bencana lumpur lapindo bagi
masyarakat setempat bermacam-macam dari mulai aspek sosial, lingkungan,
pendidikan hingga aspek ekonomi (Republika.co.id
/ Rabu, 28 Mei 2014). Semburan lumpur ini membawa dampak yang luar biasa
bagi masyarakat sekitar maupun bagi aktivitas perekonomian di Jawa Timur.
Sampai Mei 2009, PT Lapindo, melalui PT Minarak Lapindo Jaya telah mengeluarkan
uang baik untuk mengganti tanah masyarakat maupun membuat tanggul sebesar lebih
dari Rp. 6 Triliun.
Dengan terus
berlangsungnya semburan dan luapan lumpur Sidoarjo, pada awal bulan Maret 2007
luapan lumpur telah menggenangi dan menenggelamkan wilayah hunian seluas 641 Ha
di 12 desa/kelurahan Sebanyak 11.006 unit rumah terendam lumpur dengan korban
terdampak sampai dengan tanggal 16 Februari 2007 sebanyak 5.900 KK atau 22.301
jiwa. Sekitar 30 bangunan pabrik yang tergenang terpaksa menghentikan aktivitas
produksi dan merumahkan ribuan tenaga kerja. Tercatat 1.873 orang tenaga kerja
yang terkena dampak lumpur ini. Sebanyak33 bangunan sekolah, 28 bangunan Tempat
Pendidikan Al-Qur’an (TPQA), 65 bangunan masjid dan surau, dan 4 bangunan
perkantoran. (Sumber: BPLS)
Besarnya kerugian
materil maupun nonmateril yang ditimbulkan oleh bencana lumpur lapindo,
menuntut pemerintah untuk turun tangan menangani penyelesaian masalah melalui
produk hukum berupa Perpres No. 14 tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan
Lumpur Sidoarjo (BPLS) pada tahun 2007 yang salah satu tujuannnya adalah untuk
memulihkan kehidupan masyarakat.
Masyarakat terdiri dari
orang dewasa dan anak-anak, yang menjadi korban dari bencana ini bukan hanya
orang dewasa tetapi juga anak-anak. Anak dalam situasi bencana merupakan kelompok rentan, yang harus
mendapatkan perhatian khusus dari semua pihak, agar tetap terpenuhi hak-hak
dasarnya seperti kebutuhan kesehatan, pendidikan dan hak sosialnya.Anak-anak
korban bencana sangat rentan dengan kondisi traumatik. Tujuan penulisan artikel
ini adalah untuk mengetahui bagaimana perlindungan terhadap hak pendidikan bagi
anak yang menjadi korban bencana lumpur lapindo di Sidoarjo Jawa Timur.
TINJAUAN PUSTAKA
Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
pemerintah dan lembaga negara lain berkewajiban dan bertanggung jawab
memberikan perlindungan khusus. Perlindungan khusus bagi anak korban bencana
dilaksanakan melalui pemenuhan kebutuhan dasar yang terdiri atas sandang,
pangan, permukiman, pendidikan, kesehatan, belajar dan berekreasi, jaminan
keamanan, dan persamaan perlakuan. Serta pemenuhan kebutuhan khusus bagi anak
yang menyandang cacat dan anak yang mengalami gangguan psikologis (pasal 62).
Menurut UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
bahwa perlindungan terhadap anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan
melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan
berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,
serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya
anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.
Terdapat 10 Hak Anak Indonesia berdasarkan Konvensi Hak Anak PBB
tahun 1989, diantaranya adalah sebagai berikut:
1.
Hak untuk bermain
2.
Hak untuk mendapatkan
pendidikan
3.
Hak untuk mendapatkan
perlindungan
4. Hak untuk mendapatkan nama (identitas)
5. Hak untuk mendapatkan status kebangsaan
6. Hak untuk mendapatkan makanan
7. Hak untuk mendapatkan akses kesehatan
8. Hak untuk mendapatkan rekreasi
9. Hak untuk mendapatkan kesamaan
10. Hak untuk memiliki peran dalam pembangunan
(diakses dari http://saveindonesianchildren.wordpress.com/2009/06/06/146/, pada Rabu, 17 September 2014, pukul
12:43 WIB)
Berdasarkan konvensi hak anak, penanganan anak korban bencana secara cepat
dan tepat perli memperhatikan empat prinsip diantaranya: nondiskriminasi;
kepentingan terbaik anak; mengutamakan hak anak akan hidup, kelangsungan hidup,
dan tumbuh kembang; serta menghormati pandangan anak.
Berdasarkan Departemen Kesehatan, hak-hak anak adalah sebagai berikut:
1.
Setiap anak
harus mempunyai kesempatan untuk tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara
wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi.
2.
Setiap anak
mempunyai hak untuk mempunyai nama dan kewarganegaraan.
3.
Anak harus
dilindungi dari segala bentuk kekerasan, diskriminasi dan eksploitasi.
4.
Anak-anak harus
mendapat perlindungan dari semua pekerjaan yang membahayakan.
5.
Anak harus
dilindungi dari pelecehan seksual dan eksploitasi di rumah, sekolah, tempat
kerja atau masyarakat.
6.
Anak-anak rentan
terhadap perdagangan orang jika tidak ada perlindungan yang memadai.
Pemerintah, swasta, masyarakat madani dan keluarga bertanggung jawab mencegah
perdagangan anak sekaligus menolong anak yang menjadi korban untuk kembali ke
keluarga dan masyarakat.
7.
Tindakan hukum
yang dikenakan pada anak harus sesuai dengan hak anak.
8.
Dukungan dana
dan pelayanan kesejahteraan sosial, dapat membantu keutuhan keluarga dan
anak-anak yang tidak mampu untuk tetap bersekolah serta mendapatkan akses
pelayanan kesehatan.
9.
Semua anak
mempunyai hak untuk mendapatkan informasi yang sesuai dengan usianya,
didengarkan dan dilibatkan dalam pengambilan keputusan yang menyangkut diri
mereka. Pemenuhan hak anak seharusnya memberi kesempatan pada anak untuk
berperan aktif dalam perlindungan diri mereka sendiri dari pelecehan,
kekerasan, dan eksploitasi sehingga mereka dapat menjadi warga masyarakat yang
aktif.
Menurut
UU RI No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak pasal satu ayat satu, anak
adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak
yang masih dalam kandungan. Pendidikan adalah hal yang sangat penting bagi anak
untuk bekal kehidupannya di masa depan. Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar
1945 (UUD 1945) tujuan negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa yang berarti
pemerintah bertanggung jawab atas pelaksaan pendidikan di Indonesia. Mulai dari
penyelenggaraan pendidikan, sarana dan prasarana pendidikan, ketersediaan
pengajar, bahkan pemerintah memiliki tanggung jawab moral untuk “memaksa” warga
negara untuk mengenyam pendidikan. Selain pemerintah, orang tua pun bertanggung
jawab atas pendidikan anaknya. Namun, pada kondisi bencana lumpur lapindo ini
banyak dari orang tua atau orang dewasa yang kelihangan tempat tinggal, harta
benda, serta pekerjaannya karena timbunan lumpur yang tidak dapat dibendung dan
menggenangi tempat tinggalnya.
Usaha
penyelesaian dari pemerintah dan dari pihak swasta hanya berupa penggantian
lahan yang terendam lumpur, itu pun belum semua terbayarkan dan terealisasikan
kepada semua korban lumpur lapindo. Sehingga orang tua para korban lumpur
lapindo banyak yang mengalami kekurangan ekonomi karena kehilangan
pekerjaannya. Maka banyak anak dari korban lumpur lapindo yang mengalami putus
sekolah karena ketidakadaannya biaya serta banyak sekolah yang terendam lumpur.
Dalam
kacamata pekerja sosial, upaya yang dapat dilakukan untuk memenuhi hak anak
dalam mendapatkan pendidikan adalah menjalankan peran serta fungsi pekerja sosial
menurut Zastrow, diantaranya adalah:
1.
Pekerja
sosial sebagai pemercepat perubahan (enabler)
2.
Perantara
(Broker)
3.
Pendidik
(educator)
4.
Tenaga
ahli (expert)
5.
Perencana
sosial (sosial planner)
6.
Advokat
(advocate)
7.
Aktivis
(activist)
Anak-anak
yang menjadi korban bencana dapat ditangani oleh pekerja sosial dengan
menjalankan fungsi dan perannya. Diantaranya peran pekerja sosial sebagai
pendidik dan perantara. Sebagai pendidik, pekerja sosial dapat melakukan peran
dalam membina, mengawasi, serta memberikan perlindungan untuk anak korban
bencana. Dan sebagai perantara, adalah dengan menghubungkan atau memfasilitasi
anak korban bencana dengan dunia pendidikan. Pendidikan dapat berupa pendidikan
formal setidaknya wajib belajar 9 tahun, dan juga pendidikan non-formal jika
dirasa sudah kondusif seperti kursus komputer, kursus menjahit, dan sejenisnya
agar para anak mempunyai keterampilan lebih untuk bekal pada saat memasuki
dunia kerja nantinya. Selain itu juga membangun posko pendidikan non formal
bagi anak usia dini agar anak memiliki kegiatan, keterampilan, serta tidak
mengalami trauma akibat bencana ini.
Selain
itu pekerja sosial dapat menjadi advokat dalam mengadvokasi hak anak dalam
pendidikan kepada pemerintah daerah atau pemerintah pusat untuk membangun
fasilitas pendidikan yang layak bagi anak korban bencana agar nyaman dan tidak
mengalami kejenuhan dalam proses pembelajaran. Pemerintah seharusnya memberikan
pendidikan gratis bagi anak korban bencana serta peralatan sekolah seperti buku
pelajaran, seraga dan sepatu sekolah, alat tulis dan lain sebagainya secara
gratis. Sebab yang diperlukan untuk
menempuh pendidikan bukan hanya bangunan sekolah dan biaya yang gratis
tetapi juga memerlukan alat pendukung bagi anak untuk menerima pendidikan itu
sendiri.
Kurikulum
atau teknik pengajaran yang diberikan kepada anak korban bencana seharusnya
berbeda dengan kurikulum yang diberikan kepada anak normal yang tidak terkena
bencana, terutama pada tingkat pendidikan sekolah dasar karena kondisi
psikologis anak yang masih rentan dengan keadaan trauma sehingga memerlukan
teknik pengajaran yang berbeda.
KESIMPULAN
Meskipun bencana lumpur lapindo sudah
berlangsung selama lebih dari delapan tahun, tetapi infrastruktur seperti
sekolah dan sarana pendidikan lainnya belum dapat menfasilitasi warga korban
lumpur lapindo secara menyeluruh. Pemerintah, swasta, dan lembaga negara yang
terkait seharusnya tidak hanya memperhatikan kondisi ekonomi dalam pemenuhan
kebutuhan sehari-hari saja tetapi juga perlu memperhatikan kondisi pendidikan
bagi anak korban bencana, sebab pendidikan merupakan hal yang penting bagi
pertumbuhan dan bekal anak-anak penerus bangsa di masa mendatang.
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Presiden No. 14 Tahun 2007 tentang Badan
Penanggulangan Lumpur di Sidoarjo.
Peraturan Presiden No. 48 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas
Peraturan Presiden No. 14 Tahun 2007 tentang Badang Penanggulangan Lumpur
Sidoarjo
http://www.bpls.go.id/( pada Selasa, 16 September 2014 pukul 21:36 WIB)
http://www.promkes.depkes.go.id/index.php/topik-kesehatan/62-apa-yang-perlu-kita-ketahui-tentang-perlindungan-anak ( pada Selasa, 16 September 2014 pukul 21:25 WIB)
http://www.kpai.go.id/berita/kpai-selenggarakan-pertemuan-koordinasi-perlindungan-anak-dalam-situasi-bencana/
(pada Selasa, 16 September 2014 Pukul 21:59 WIB)
http://saveindonesianchildren.wordpress.com/2009/06/06/146/, (pada Rabu, 17 September 2014, pukul
12:43 WIB)
http://edukasi.kompasiana.com/2013/05/14/hak-dan-kewajiban-dalam-berpendidikan-555809.html
(pada Kamis, 18 September 2014,pukul 10:06)
http://id.wikipedia.org/wiki/Banjir_lumpur_panas_Sidoarjo (pada Selasa, 16 September 2014 pukul 21.17 WIB)
http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/JUR._PEND._GEOGRAFI/196105011986011-MAMAT_RUHIMAT/MITIGASI_1.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar