Child - Us

Child - Us
with Sanggar Waringin's child

Rabu, 01 Oktober 2014

Anak Korban Bencana


PERLINDUNGAN HAK PENDIDIKAN BAGI ANAK KORBAN BENCANA LUMPUR LAPINDO


Oleh:
Tundzirawati                           170310110004
Derin Darachita Pradini          170310110028
Metra Indri Naibaho               170310110052
Nadira Lubis                           170310110072
Winda Mariyenda                   170310110085


PENDAHULUAN
Tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia merupakan salah satu negara dengan kondisi yang sangat rawan bencana. Hal ini diakibat dari letak Indonesia secara geografis terletak diantara dua benua dan dua samudera serta secara geologis berada dijalur tiga lempeng tektonik yang sering mengalami gesekan sehingga mengakibatkan Indonesia sering terjadi bencana seperti banjir, kekeringan, tanah longsor, Angin kencang, gempa bumi, tsunami, gunung meletus dan lain sebagainya. Bencana yang tak kunjung selesai sampai dengan saat ini adalah bencana lumpur lapindo di Sidoarjo Jawa Timur yang berlangsung sejak tahun 2006.
Dampak dan efek dari bencana lumpur lapindo bagi masyarakat setempat bermacam-macam dari mulai aspek sosial, lingkungan, pendidikan hingga aspek ekonomi (Republika.co.id / Rabu, 28 Mei 2014). Semburan lumpur ini membawa dampak yang luar biasa bagi masyarakat sekitar maupun bagi aktivitas perekonomian di Jawa Timur. Sampai Mei 2009, PT Lapindo, melalui PT Minarak Lapindo Jaya telah mengeluarkan uang baik untuk mengganti tanah masyarakat maupun membuat tanggul sebesar lebih dari Rp. 6 Triliun.
Dengan terus berlangsungnya semburan dan luapan lumpur Sidoarjo, pada awal bulan Maret 2007 luapan lumpur telah menggenangi dan menenggelamkan wilayah hunian seluas 641 Ha di 12 desa/kelurahan Sebanyak 11.006 unit rumah terendam lumpur dengan korban terdampak sampai dengan tanggal 16 Februari 2007 sebanyak 5.900 KK atau 22.301 jiwa. Sekitar 30 bangunan pabrik yang tergenang terpaksa menghentikan aktivitas produksi dan merumahkan ribuan tenaga kerja. Tercatat 1.873 orang tenaga kerja yang terkena dampak lumpur ini. Sebanyak33 bangunan sekolah, 28 bangunan Tempat Pendidikan Al-Qur’an (TPQA), 65 bangunan masjid dan surau, dan 4 bangunan perkantoran. (Sumber: BPLS)
Besarnya kerugian materil maupun nonmateril yang ditimbulkan oleh bencana lumpur lapindo, menuntut pemerintah untuk turun tangan menangani penyelesaian masalah melalui produk hukum berupa Perpres No. 14 tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) pada tahun 2007 yang salah satu tujuannnya adalah untuk memulihkan kehidupan masyarakat.
Masyarakat terdiri dari orang dewasa dan anak-anak, yang menjadi korban dari bencana ini bukan hanya orang dewasa tetapi juga anak-anak. Anak dalam situasi bencana merupakan kelompok rentan, yang harus  mendapatkan perhatian khusus dari semua pihak, agar tetap terpenuhi hak-hak dasarnya seperti kebutuhan kesehatan, pendidikan dan hak sosialnya.Anak-anak korban bencana sangat rentan dengan kondisi traumatik. Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui bagaimana perlindungan terhadap hak pendidikan bagi anak yang menjadi korban bencana lumpur lapindo di Sidoarjo Jawa Timur.

TINJAUAN PUSTAKA
Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pemerintah dan lembaga negara lain berkewajiban dan bertanggung jawab memberikan perlindungan khusus. Perlindungan khusus bagi anak korban bencana dilaksanakan melalui pemenuhan kebutuhan dasar yang terdiri atas sandang, pangan, permukiman, pendidikan, kesehatan, belajar dan berekreasi, jaminan keamanan, dan persamaan perlakuan. Serta pemenuhan kebutuhan khusus bagi anak yang menyandang cacat dan anak yang mengalami gangguan psikologis (pasal 62).
Menurut UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, bahwa perlindungan terhadap anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.
Terdapat 10 Hak Anak Indonesia berdasarkan Konvensi Hak Anak PBB tahun 1989, diantaranya adalah sebagai berikut:
1.      Hak untuk bermain 
2.      Hak untuk mendapatkan pendidikan 
3.      Hak untuk mendapatkan perlindungan 
4.      Hak untuk mendapatkan nama (identitas) 
5.      Hak untuk mendapatkan status kebangsaan
6.      Hak untuk mendapatkan makanan
7.      Hak untuk mendapatkan akses kesehatan
8.      Hak untuk mendapatkan rekreasi
9.      Hak untuk mendapatkan kesamaan
10.  Hak untuk memiliki peran dalam pembangunan
(diakses dari http://saveindonesianchildren.wordpress.com/2009/06/06/146/, pada Rabu, 17 September 2014, pukul 12:43 WIB)
Berdasarkan konvensi hak anak, penanganan anak korban bencana secara cepat dan tepat perli memperhatikan empat prinsip diantaranya: nondiskriminasi; kepentingan terbaik anak; mengutamakan hak anak akan hidup, kelangsungan hidup, dan tumbuh kembang; serta menghormati pandangan anak.
Berdasarkan Departemen Kesehatan, hak-hak anak adalah sebagai berikut:
1.      Setiap anak harus mempunyai kesempatan untuk tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
2.      Setiap anak mempunyai hak untuk mempunyai nama dan kewarganegaraan.
3.      Anak harus dilindungi dari segala bentuk kekerasan, diskriminasi dan eksploitasi.
4.      Anak-anak harus mendapat perlindungan dari semua pekerjaan yang membahayakan.
5.      Anak harus dilindungi dari pelecehan seksual dan eksploitasi di rumah, sekolah, tempat kerja atau masyarakat.
6.      Anak-anak rentan terhadap perdagangan orang jika tidak ada perlindungan yang memadai. Pemerintah, swasta, masyarakat madani dan keluarga bertanggung jawab mencegah perdagangan anak sekaligus menolong anak yang menjadi korban untuk kembali ke keluarga dan masyarakat.
7.      Tindakan hukum yang dikenakan pada anak harus sesuai dengan hak anak.
8.      Dukungan dana dan pelayanan kesejahteraan sosial, dapat membantu keutuhan keluarga dan anak-anak yang tidak mampu untuk tetap bersekolah serta mendapatkan akses pelayanan kesehatan.
9.      Semua anak mempunyai hak untuk mendapatkan informasi yang sesuai dengan usianya, didengarkan dan dilibatkan dalam pengambilan keputusan yang menyangkut diri mereka. Pemenuhan hak anak seharusnya memberi kesempatan pada anak untuk berperan aktif dalam perlindungan diri mereka sendiri dari pelecehan, kekerasan, dan eksploitasi sehingga mereka dapat menjadi warga masyarakat yang aktif.


PEMBAHASAN
Menurut UU RI No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak pasal satu ayat satu, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Pendidikan adalah hal yang sangat penting bagi anak untuk bekal kehidupannya di masa depan. Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) tujuan negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa yang berarti pemerintah bertanggung jawab atas pelaksaan pendidikan di Indonesia. Mulai dari penyelenggaraan pendidikan, sarana dan prasarana pendidikan, ketersediaan pengajar, bahkan pemerintah memiliki tanggung jawab moral untuk “memaksa” warga negara untuk mengenyam pendidikan. Selain pemerintah, orang tua pun bertanggung jawab atas pendidikan anaknya. Namun, pada kondisi bencana lumpur lapindo ini banyak dari orang tua atau orang dewasa yang kelihangan tempat tinggal, harta benda, serta pekerjaannya karena timbunan lumpur yang tidak dapat dibendung dan menggenangi tempat tinggalnya.
Usaha penyelesaian dari pemerintah dan dari pihak swasta hanya berupa penggantian lahan yang terendam lumpur, itu pun belum semua terbayarkan dan terealisasikan kepada semua korban lumpur lapindo. Sehingga orang tua para korban lumpur lapindo banyak yang mengalami kekurangan ekonomi karena kehilangan pekerjaannya. Maka banyak anak dari korban lumpur lapindo yang mengalami putus sekolah karena ketidakadaannya biaya serta banyak sekolah yang terendam lumpur.
Dalam kacamata pekerja sosial, upaya yang dapat dilakukan untuk memenuhi hak anak dalam mendapatkan pendidikan adalah menjalankan peran serta fungsi pekerja sosial menurut Zastrow, diantaranya adalah:
1.      Pekerja sosial sebagai pemercepat perubahan (enabler)
2.      Perantara (Broker)
3.      Pendidik (educator)
4.      Tenaga ahli (expert)
5.      Perencana sosial (sosial planner)
6.      Advokat (advocate)
7.      Aktivis (activist)
Anak-anak yang menjadi korban bencana dapat ditangani oleh pekerja sosial dengan menjalankan fungsi dan perannya. Diantaranya peran pekerja sosial sebagai pendidik dan perantara. Sebagai pendidik, pekerja sosial dapat melakukan peran dalam membina, mengawasi, serta memberikan perlindungan untuk anak korban bencana. Dan sebagai perantara, adalah dengan menghubungkan atau memfasilitasi anak korban bencana dengan dunia pendidikan. Pendidikan dapat berupa pendidikan formal setidaknya wajib belajar 9 tahun, dan juga pendidikan non-formal jika dirasa sudah kondusif seperti kursus komputer, kursus menjahit, dan sejenisnya agar para anak mempunyai keterampilan lebih untuk bekal pada saat memasuki dunia kerja nantinya. Selain itu juga membangun posko pendidikan non formal bagi anak usia dini agar anak memiliki kegiatan, keterampilan, serta tidak mengalami trauma akibat bencana ini.
Selain itu pekerja sosial dapat menjadi advokat dalam mengadvokasi hak anak dalam pendidikan kepada pemerintah daerah atau pemerintah pusat untuk membangun fasilitas pendidikan yang layak bagi anak korban bencana agar nyaman dan tidak mengalami kejenuhan dalam proses pembelajaran. Pemerintah seharusnya memberikan pendidikan gratis bagi anak korban bencana serta peralatan sekolah seperti buku pelajaran, seraga dan sepatu sekolah, alat tulis dan lain sebagainya secara gratis. Sebab yang diperlukan untuk  menempuh pendidikan bukan hanya bangunan sekolah dan biaya yang gratis tetapi juga memerlukan alat pendukung bagi anak untuk menerima pendidikan itu sendiri.
Kurikulum atau teknik pengajaran yang diberikan kepada anak korban bencana seharusnya berbeda dengan kurikulum yang diberikan kepada anak normal yang tidak terkena bencana, terutama pada tingkat pendidikan sekolah dasar karena kondisi psikologis anak yang masih rentan dengan keadaan trauma sehingga memerlukan teknik pengajaran yang berbeda.

KESIMPULAN
Meskipun bencana lumpur lapindo sudah berlangsung selama lebih dari delapan tahun, tetapi infrastruktur seperti sekolah dan sarana pendidikan lainnya belum dapat menfasilitasi warga korban lumpur lapindo secara menyeluruh. Pemerintah, swasta, dan lembaga negara yang terkait seharusnya tidak hanya memperhatikan kondisi ekonomi dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari saja tetapi juga perlu memperhatikan kondisi pendidikan bagi anak korban bencana, sebab pendidikan merupakan hal yang penting bagi pertumbuhan dan bekal anak-anak penerus bangsa di masa mendatang. 
 
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Presiden No. 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur di Sidoarjo.

Peraturan Presiden No. 48 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden No. 14 Tahun 2007 tentang Badang Penanggulangan Lumpur Sidoarjo

http://www.bpls.go.id/( pada Selasa, 16 September 2014 pukul 21:36 WIB)



http://saveindonesianchildren.wordpress.com/2009/06/06/146/, (pada Rabu, 17 September 2014, pukul 12:43 WIB)


http://id.wikipedia.org/wiki/Banjir_lumpur_panas_Sidoarjo (pada Selasa, 16 September 2014 pukul 21.17 WIB)





Tidak ada komentar:

Posting Komentar