SOCIAL
WORK WITH CHILDREN AND FAMILY
Artikel Mengenai Anak
Dengan Disabilitas (ADD)
Disusun Oleh:
1.
Arini
Fauziah Al-Haq 170310110012
2.
Irsal
Yakhsyallah 170310110024
3.
Burhan
Yusuf Abdul A 170310110036
4.
Dimas
Bagus S 170310110060
5.
Shinta
Puji Triwanti 170310110076
UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PROGRAM STUDI ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL
JATINANGOR
2014
Sulitnya
Mengakses Pendidikan Bagi Anak Dengan Disabilitas
ADD
(Anak Dengan Disabilitas) telah menjadi
perhatian masyarakat dunia, termasuk Indonesia seiring meningkatnya jumlah anak
yang memerlukan kebutuhan dan perlindungan khusus ini. ADD
(Anak Dengan Disabilitas) dapat
dikategorikan menjadi dua kelompok besar yaitu anak berkebutuhan khusus yang
bersifat sementara (temporer) dan anak berkebutuhan khusus yang besifat menetap
(permanen).
1. ADD (Anak Dengan Disabilitas) Sementara (Temporer)
ADD
(Anak Dengan Disabilitas) yang
bersifat sementara (temporer) adalah anak yang mengalami hambatan belajar dan
hambatan perkembangan disebabkan oleh faktor-faktor eksternal. Misalnya anak
yang yang mengalami gangguan emosi karena trauma akibat diperkosa sehingga anak
ini tidak dapat belajar. Pengalaman traumatis seperti itu bersifat sementara
tetapi apabila anak ini tidak memperoleh intervensi yang tepat maka akan
menjadi permanen. Anak seperti ini memerlukan layanan pendidikan kebutuhan
khusus, yaitu pendidikan yang disesuaikan dengan hambatan yang dialaminya
tetapi anak ini tidak perlu dilayani di sekolah khusus. Di sekolah biasa banyak
sekali anak-anak yang mempunyai kebutuhan khusus yang bersifat temporer, sehingga
mereka memerlukan pendidikan yang disesuaikan yang disebut pendidikan kebutuhan
khusus. Contoh lain, anak baru masuk Kelas I Sekolah Dasar yang mengalami
kehidupan dua bahasa. Di rumah anak berkomunikasi dalam bahasa ibunya (contoh
bahasa: Sunda, Jawa, Bali atau Madura dsb), akan tetapi ketika belajar di
sekolah terutama ketika belajar membaca permulaan, mengunakan Bahasa Indonesia.
Kondisi seperti ini dapat menyebabkan munculnya kesulitan dalam belajar membaca
permulaan dalam Bahasa Indonesia. Anak seperti ini pun dapat dikategorikan
sebagai anak berkebutuhan khusus sementara (temporer), sehingga ia memerlukan
layanan pendidikan yang disesuaikan (pendidikan kebutuhan khusus). Apabila
hambatan belajar membaca seperti itu tidak mendapatkan intervensi yang tepat yang
terjadi anak ini akan menjadi anak berkebutuhan khusus permanen.
2. ADD (Anak Dengan Disabilitas) yang Bersifat Menetap (Permanen)
ADD
(Anak Dengan Disabilitas) yang
bersifat permanen adalah anak-anak yang mengalami hambatan belajar dan hambatan
perkembangan yang bersifat internal dan akibat langsung dari kondisi kecacatan,
yaitu seperti anak yang kehilangan fungsi penglihatan, pendengaran, gangguan
perkembangan kecerdasan dan kognisi, gangguan gerak (motorik), gangguan
iteraksi-komunikasi, gangguan emosi, sosial dan tingkah laku. Dengan kata lain
anak berkebutuhan khusus yang bersifat permanen sama artinya dengan ADD
(Anak Dengan Disabilitas).
Istilah anak berkebutuhan khusus bukan merupakan terjemahan atau
kata lain dari ADD (Anak Dengan Disabilitas), tetapi anak berkebutuhan khusus mencakup
spektrum yang luas yaitu meliputi anak berkebutuhan khusus temporer dan anak
berkebutuhan khusus permanen (penyandang cacat). Oleh karena itu, apabila
menyebut anak berkebutuhan khusus selalu harus diikuti ungkapan termasuk anak
penyandang cacat. Jadi anak penyandang cacat merupakan bagian atau anggota dari
anak berkebutuhan khusus. Oleh karena itu konsekuensi logisnya adalah lingkup
garapan pendidikan kebutuhan khusus menjadi sangat luas, berbeda dengan lingkup
garapan Pendidikan Luar Biasa yang hanya menyangkut ADD
(Anak Dengan Disabilitas).
ADD
(Anak Dengan Disabilitas) menghadapi
berbagai permasalahan yang harus dihadapi. Permasalahan diawali dengan
keharusan anak untuk menerima kenyataan dan penyesuaian diri terhadap kondisi
fisik yang berbeda dengan anak yang lainnya. Kemudian anak harus menerima
reaksi dari lingkungan sekitar yang tidak dapat menerima kehadiran anak dengan
kondisi yang berbeda dari anak yang lainnya. Hal ini dapat berpengaruh terhadap
kondisi psikologis anak dan pada akhirnya akan menjadi masalah berat yang
dihadapi oleh anak di lingkungan sosialnya terutama jika anak tidak memperoleh
dukungan sosial yang berasal dari lingkungan keluarga. “Stigma
masyarakat terhadap anak disabilitas masih berkembang di kehidupan masyarakat,
karena rendahnya pengetahuan dan faktor sosial budaya” (Janene Byrne, 2002).
Anak diisolasi dan didiskriminasi dalam pengasuhan serta tidak tersentuh oleh
pelayanan sosial dasar, antara lain pelayanan kesehatan, pendidikan, pemukiman
yang layak serta tidak memiliki alat bantu kecacatan.
Kondisi
tersebut menunjukkan dukungan sosial yang rendah diberikan oleh orang
tua/keluarga dan masyarakat sebagai lingkungan terdekat anak. Rothman (2003)
mengemukakan bahwa ibu bapa yang memiliki ADD (Anak Dengan Disabilitas) sering
dihadapkan dengan banyak keperluan, banyak masalah karena kondisi disabilitas
anaknya. Demikian pula dengan anggota keluarga yang lain seperti adik, kakak
ataupun kerabat tidak dapat menerima anggota keluarganya yang disabilitas
sehingga menampilkan sikap penolakan secara halus maupun terang-terangan. Anak-anak penyandang disabilitas seringkali dianggap rendah, dan ini
menyebabkan mereka menjadi lebih rentan. Diskriminasi karena disabilitas
berujung pada marginalisasi dari sumber daya dan pembuatan keputusan, dan
bahkan pada kematian anak
Pemenuhuhan kebutuhan dan
perlindungan terhadap ADD (Anak Dengan Disabilitas) telah menjadi perhatian
dunia. Konvensi Hak Anak (KHA) yang diratifikasi oleh berbagai negara di dunia
mencakup didalamnya adalah perlindungan dan jaminan bagi ADD (Anak Dengan
Disabilitas), tetapi dalam pelaksanaannya belum dapat dikatakan maksimal.
Wescott and Cross (1996) menjelaskan hasil penyelidikannya bahwa ADD (Anak
Dengan Disabilitas) banyak yang kurang beruntung karena abuse dan neglect
dibandingkan dengan anak
normal. Selain itu, ADD (Anak Dengan Disabilitas) mengalami kesulitan untuk
menjangkau pendidikan (Escape Survey, 2004), dan hampir 90% anak disabilitas di
Negara berkembang tidak dapat mengakses ke sekolah. (United Nations, 2006).
Permasalahan
yang terjadi di Indonesia tidak jauh berbeda dengan Negara berkembang lainnya,
banyak ADD (Anak Dengan Disabilitas) yang belum bisa mengakses sistem
pendidikan. Menurut estimasi Ketua Umum Persatuan Penyandang Disabilitas
Indonesia, hanya 10% ADD (Anak Dengan Disabilitas) yang dapat mengakses sistem
pendidikan. Kemudian data Susenas 2009 menunjukkan (43.87%) anak disabilitas
usia sekolah usia (7-17 tahun) belum pernah mengikuti pendidikan, sepertiganya
(35.87%) sedang sekolah dan sekitar 20.26% berstatus tidak sekolah lagi. ADD
(Anak Dengan Disabilitas) yang jumlahnya masih cukup besar di Indonesia,
menurut hasil pendataan Direktorat Rehabilitasi Sosial Penyandang Cacat
Kementerian Sosial (2009) di 24 propinsi terdapat 65.727 anak, yang terdiri
dari 78.412 anak dengan kedisabilitasan ringan, 74.603 anak dengan kedisabilitasan sedang dan 46.148 anak dengan
kedisabilitasan berat.
Anak-anak penyandang disabilitas secara
tidak proporsional sering diabaikan haknya untuk mendapatkan pendidikan, yang dapat
mengurangi kemampuan mereka untuk menikmati hak-hak kewarganegaraan mereka, mendapatkan
pekerjaan dan mengambil peranan yang bernilai di masyarakat. Data survei rumah
tangga dari 13 negara berpenghasilan rentan dan menengah menunjukkan bahwa
anak-anak penyandang disabilitas usia antara 6–17 tahun secara signifikan
berkemungkinan kecil akan dimasukkan ke sekolah dibandingkan rekan-rekan mereka
yang tidak penyandang disabilitas.
Menurut Marchant
(2001) dalam aspek pendidikan beberapa hasil kajian menunjukkan bahwa akses
anak disabilitas ke sistem pendidikan sangat rendah. Rendahnya akses terhadap
pendidikan disebabkan karena berbagai faktor, seperti minimnya ketersediaan
sekolah khusus bagi ADD (Anak Dengan Disabilitas) (Survey ILO, 2010). Sedangkan
bila akses ke sekolah umum, anak mengalami hambatan psikologis, dan faktor ketidaksediaan
sekolah menerima ADD (Anak Dengan Disabilitas).
Secara
formal, akses pendidikan non-diskriminatif bagi penyandang disabilitas sudah
dijamin oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusi. Kebijakan ini
memungkinkan penyandang disabilitas untuk mengakses pendidikan bersama dengan
siswa umum, sesuai dengan kemampuan penyandang disabilitas. Pendidikan inklusi
di Indonesia sudah diterapkan pada semua jenjang pendidikan, mulai dari
Pendidikan Usia Dini hingga Perguruan Tinggi. Namun,
pada pelaksanaan dan penerapanya masih belum signifikan diterapkan diberbagai
sekolah.
Sebagai contoh, dari hasil wawancara dengan tiga orang
guru Sekolah Semesta Hati yang merupakan salah satu sekolah inklusi di Kota
Cimahi, ditemukan beberapa fakta sebagai berikut:
1. Dari total 67 siswa yang bersekolah di SD-SMP
Sekolah Semesta Hati, 30% diantaranya adalah ADD
(Anak Dengan Disabilitas) yang berkebutuhan
khusus. Anak-anak dengan disabilitas yang mendaftar di sekolah ini seluruhnya
diterima karena telah ditolak oleh beberapa sekolah inklusi lain. Biaya masuk
Sekolah Semesta Hati bagi anak dengan disabilitas disamakan dengan siswa
regular sejumlah 6 juta rupiah dan SPP bulanan 400 ribu rupiah, ditambah biaya helper antara 250-400 ribu rupiah/bulan
tergantung kondisi dan kebutuhan siswa.
2. Sekolah Semesta Hati memiliki satu orang psikolog
dan satu orang guru pendamping khusus untuk membantu pembelajaran klasikal di
kelas berlatar belakang pendidikan Bahasa Indonesia. Karena keterbatasan
sumberdaya manusia, guru kelas difungsikan juga sebagai guru pendamping karena
semua guru mencoba belajar untuk menangani semua anak.
3. Program pendidikan untuk anak dengan disabilitas
di Sekolah Semesta Hati utamanya untuk mengembangkan sosialisasi, mengalami
konflik, problem solving, mencari
minat dan bakat, gaya belajar, serta kemungkinan karir yang dapat dijalani sang
anak nantinya. Secara teknis pembelajaran harus menyenangkan, menggali potensi,
menguatkan kelebihan, dan disesuaikan dengan kemampuan anak.
4. Sebagai sekolah inklusi, Sekolah Semesta Hati
belum mendapatkan bantuan dari pemerintah. Padahal sarana dan prasarana yang
tersedia dirasa belum cukup memenuhi kebutuhan para siswa terutama anak dengan
disabilitas. Untuk tempat saja, hingga kini Sekolah Semesta Hati harus menyewa
lahan untuk dijadikan sekolah karena belum mempunyai lahan sendiri dan selama 6
tahun berjalan, sekolah ini sudah 3 kali pindah tempat.
5. Sekolah Semesta Hati mengharapkan pemerintah
lebih memperhatikan pendampingan dan pemetaan yang sejati terkait sekolah
inklusi. Selain itu bantuan terkait sarana dan prasarana juga dana atau
tunjangan bagi sekolah dan guru-gurunya sangat dibutuhkan. Pada intinya,
dukungan pemerintah untuk sekolah inklusi harus ditingkatkan seperti yang
dilakukan pada sekolah-sekolah negeri atau unggulan. (Hasil Wawancara, September 2014)
Kondisi
ini tentunya tidak
boleh dibiarkan begitu saja karena anak disabilitas memiliki hak yang sama
dengan anak normal lainnya untuk mendapatkan kesempatan dan peluang tumbuh
kembang yang optimal. Profesi pekerja sosial yang memiliki fokus kepada
peningkatan kefungsian sosial dengan pendekatan yang holistic dan tertumpu pada bagaimana seorang pekerja sosial meningkatkan
keberfungsian keluarga dan lingkungan
sekitar anak dalam memberikan dukungan sosial, sehingga
berimplikasi kepada perkembangan ADD (Anak Dengan Disabilitas).
Dukungan
sosial dari keluarga maupun sekitaran anak selaras dengan prinsip person in environment or person in situation (Charles H. Zastrow,
2004 ; Brenda DuBois, 2005). Bahwa pekerja sosial memandang ADD
(Anak Dengan Disabilitas) tidak boleh terlepas dari lingkungan
sekitar atau situasi yang dihadapinya. Peran pekerja sosial
menjadi penting karena memiliki peluang besar untuk bekerja bersama keluarga
dan masyarakat.
Perlunya
intervensi dari pekerja sosial untuk melakukan pendampingan bagi keluarga
dengan anak disabilitas. Keluarga yang memiliki anak disabilitas terkadang
mereka dihadapkan kepada persoalan sosial psikologis akibat kedisabilitasan
anaknya. Khususnya pada keluarga-keluarga miskin dengan ibu bapak yang tidak
memiliki akses terhadap pelayanan dan solusi masalah. Pekerja sosial ini bisa
difungsikan untuk melakukan pendampingan psikososial, dengan melakukan beberapa
aktivitas terhadap keluarga dan anak-anak disabilitas, diantaranya yaitu :
a. Konseling
keluarga maupun individual, untuk membantu anak dan keluarga menyelesaikan
permasalahan sosial dan psikologis.
b. Pendidikan
pengasuhan anak dengan kedisabilitasan (parenting
skill)
c. Pengajaran
activity daily living (ADL)
d. Peningkatan
pengetahuan ibu dan bapak tentang masalah kedisabilitasan, hak dan keperluan
khusus anak disabilitas, serta pentingnya dukungan ibu bapak terhadap
perkembangan anak dengan kedisabilitasan.
e. Membantu
akses anak disabilitas kepada pendidikan, kesehatan maupun bermain dan rekreasi,
karena pelayanan publik di Indonesia belum responsif terhadap masyarakat dengan
keperluan khusus, termasuk bagi anak dengan kedisabilitasan.
f. Mengidentifikasi
potensi, bakat dan minat anak dengan kedisabilitasan dan membantu akses untuk
pengembangan potensi, bakat dan minat anak tersebut.
g. Membantu
akses keluarga terhadap pelayanan-pelayanan yang dibutuhkan baik oleh keluarga
maupun dibutuhkan anak.
Selain
itu, dibutuhkan kerjasama antara pihak terkait sehingga tidak ada diskriminasi,
pelanggaran hak dan tindak kekerasan terhadap ADD (Anak Dengan Disabilitas).
Sehingga ADD (Anak Dengan Disabilitas) dapat hidup dan berprestasi sama seperti
anak-anak yang lainnya.
DAFTAR
PUSTAKA
http://www.smeru.or.id/report/other/cpsp/Paper,%20Abstact,%20CV/0105_rini-paper.pdf
diunduh pada tanggal 11 September 2014 pukul 21:21
http://enje14.wordpress.com/2013/10/31/122/ diunduh pada tanggal 12 September 2014
pukul 11:21
http://www.unicef.org/indonesia/id/SOWC_Bahasa.pdf
diunduh pada tanggal 11 September 2014 pukul 21:36
Tidak ada komentar:
Posting Komentar