Child - Us

Child - Us
with Sanggar Waringin's child

Rabu, 01 Oktober 2014

Anak Dengan Disabilitas



SOCIAL WORK WITH CHILDREN AND FAMILY
Artikel Mengenai Anak Dengan Disabilitas (ADD)


Disusun Oleh:
1.      Arini Fauziah Al-Haq           170310110012
2.      Irsal Yakhsyallah                  170310110024
3.      Burhan Yusuf Abdul A        170310110036
4.      Dimas Bagus S                       170310110060
5.      Shinta Puji Triwanti             170310110076




UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PROGRAM STUDI ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL
JATINANGOR
2014


Sulitnya Mengakses Pendidikan Bagi Anak Dengan Disabilitas

  ADD (Anak Dengan Disabilitas) telah menjadi perhatian masyarakat dunia, termasuk Indonesia seiring meningkatnya jumlah anak yang memerlukan kebutuhan dan perlindungan khusus ini. ADD (Anak Dengan Disabilitas) dapat dikategorikan menjadi dua kelompok besar yaitu anak berkebutuhan khusus yang bersifat sementara (temporer) dan anak berkebutuhan khusus yang besifat menetap (permanen).
1. ADD (Anak Dengan Disabilitas) Sementara (Temporer)
ADD (Anak Dengan Disabilitas) yang bersifat sementara (temporer) adalah anak yang mengalami hambatan belajar dan hambatan perkembangan disebabkan oleh faktor-faktor eksternal. Misalnya anak yang yang mengalami gangguan emosi karena trauma akibat diperkosa sehingga anak ini tidak dapat belajar. Pengalaman traumatis seperti itu bersifat sementara tetapi apabila anak ini tidak memperoleh intervensi yang tepat maka akan menjadi permanen. Anak seperti ini memerlukan layanan pendidikan kebutuhan khusus, yaitu pendidikan yang disesuaikan dengan hambatan yang dialaminya tetapi anak ini tidak perlu dilayani di sekolah khusus. Di sekolah biasa banyak sekali anak-anak yang mempunyai kebutuhan khusus yang bersifat temporer, sehingga mereka memerlukan pendidikan yang disesuaikan yang disebut pendidikan kebutuhan khusus. Contoh lain, anak baru masuk Kelas I Sekolah Dasar yang mengalami kehidupan dua bahasa. Di rumah anak berkomunikasi dalam bahasa ibunya (contoh bahasa: Sunda, Jawa, Bali atau Madura dsb), akan tetapi ketika belajar di sekolah terutama ketika belajar membaca permulaan, mengunakan Bahasa Indonesia. Kondisi seperti ini dapat menyebabkan munculnya kesulitan dalam belajar membaca permulaan dalam Bahasa Indonesia. Anak seperti ini pun dapat dikategorikan sebagai anak berkebutuhan khusus sementara (temporer), sehingga ia memerlukan layanan pendidikan yang disesuaikan (pendidikan kebutuhan khusus). Apabila hambatan belajar membaca seperti itu tidak mendapatkan intervensi yang tepat yang terjadi anak ini akan menjadi anak berkebutuhan khusus permanen.
2. ADD (Anak Dengan Disabilitas) yang Bersifat Menetap (Permanen)
ADD (Anak Dengan Disabilitas) yang bersifat permanen adalah anak-anak yang mengalami hambatan belajar dan hambatan perkembangan yang bersifat internal dan akibat langsung dari kondisi kecacatan, yaitu seperti anak yang kehilangan fungsi penglihatan, pendengaran, gangguan perkembangan kecerdasan dan kognisi, gangguan gerak (motorik), gangguan iteraksi-komunikasi, gangguan emosi, sosial dan tingkah laku. Dengan kata lain anak berkebutuhan khusus yang bersifat permanen sama artinya dengan ADD (Anak Dengan Disabilitas).
Istilah anak berkebutuhan khusus bukan merupakan terjemahan atau kata lain dari ADD (Anak Dengan Disabilitas), tetapi anak berkebutuhan khusus mencakup spektrum yang luas yaitu meliputi anak berkebutuhan khusus temporer dan anak berkebutuhan khusus permanen (penyandang cacat). Oleh karena itu, apabila menyebut anak berkebutuhan khusus selalu harus diikuti ungkapan termasuk anak penyandang cacat. Jadi anak penyandang cacat merupakan bagian atau anggota dari anak berkebutuhan khusus. Oleh karena itu konsekuensi logisnya adalah lingkup garapan pendidikan kebutuhan khusus menjadi sangat luas, berbeda dengan lingkup garapan Pendidikan Luar Biasa yang hanya menyangkut ADD (Anak Dengan Disabilitas).
ADD (Anak Dengan Disabilitas) menghadapi berbagai permasalahan yang harus dihadapi. Permasalahan diawali dengan keharusan anak untuk menerima kenyataan dan penyesuaian diri terhadap kondisi fisik yang berbeda dengan anak yang lainnya. Kemudian anak harus menerima reaksi dari lingkungan sekitar yang tidak dapat menerima kehadiran anak dengan kondisi yang berbeda dari anak yang lainnya. Hal ini dapat berpengaruh terhadap kondisi psikologis anak dan pada akhirnya akan menjadi masalah berat yang dihadapi oleh anak di lingkungan sosialnya terutama jika anak tidak memperoleh dukungan sosial yang berasal dari lingkungan keluarga. “Stigma masyarakat terhadap anak disabilitas masih berkembang di kehidupan masyarakat, karena rendahnya pengetahuan dan faktor sosial budaya” (Janene Byrne, 2002). Anak diisolasi dan didiskriminasi dalam pengasuhan serta tidak tersentuh oleh pelayanan sosial dasar, antara lain pelayanan kesehatan, pendidikan, pemukiman yang layak serta tidak memiliki alat bantu kecacatan.
Kondisi tersebut menunjukkan dukungan sosial yang rendah diberikan oleh orang tua/keluarga dan masyarakat sebagai lingkungan terdekat anak. Rothman (2003) mengemukakan bahwa ibu bapa yang memiliki ADD (Anak Dengan Disabilitas) sering dihadapkan dengan banyak keperluan, banyak masalah karena kondisi disabilitas anaknya. Demikian pula dengan anggota keluarga yang lain seperti adik, kakak ataupun kerabat tidak dapat menerima anggota keluarganya yang disabilitas sehingga menampilkan sikap penolakan secara halus maupun terang-terangan. Anak-anak penyandang disabilitas seringkali dianggap rendah, dan ini menyebabkan mereka menjadi lebih rentan. Diskriminasi karena disabilitas berujung pada marginalisasi dari sumber daya dan pembuatan kepu­tusan, dan bahkan pada kematian anak
            Pemenuhuhan kebutuhan dan perlindungan terhadap ADD (Anak Dengan Disabilitas) telah menjadi perhatian dunia. Konvensi Hak Anak (KHA) yang diratifikasi oleh berbagai negara di dunia mencakup didalamnya adalah perlindungan dan jaminan bagi ADD (Anak Dengan Disabilitas), tetapi dalam pelaksanaannya belum dapat dikatakan maksimal. Wescott and Cross (1996) menjelaskan hasil penyelidikannya bahwa ADD (Anak Dengan Disabilitas) banyak yang kurang beruntung karena abuse dan neglect dibandingkan dengan anak normal. Selain itu, ADD (Anak Dengan Disabilitas) mengalami kesulitan untuk menjangkau pendidikan (Escape Survey, 2004), dan hampir 90% anak disabilitas di Negara berkembang tidak dapat mengakses ke sekolah. (United Nations, 2006).
Permasalahan yang terjadi di Indonesia tidak jauh berbeda dengan Negara berkembang lainnya, banyak ADD (Anak Dengan Disabilitas) yang belum bisa mengakses sistem pendidikan. Menurut estimasi Ketua Umum Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia, hanya 10% ADD (Anak Dengan Disabilitas) yang dapat mengakses sistem pendidikan. Kemudian data Susenas 2009 menunjukkan (43.87%) anak disabilitas usia sekolah usia (7-17 tahun) belum pernah mengikuti pendidikan, sepertiganya (35.87%) sedang sekolah dan sekitar 20.26% berstatus tidak sekolah lagi. ADD (Anak Dengan Disabilitas) yang jumlahnya masih cukup besar di Indonesia, menurut hasil pendataan Direktorat Rehabilitasi Sosial Penyandang Cacat Kementerian Sosial (2009) di 24 propinsi terdapat 65.727 anak, yang terdiri dari 78.412 anak dengan kedisabilitasan ringan, 74.603 anak dengan kedisabilitasan sedang dan 46.148 anak dengan kedisabilitasan berat.
Anak-anak penyandang disabilitas secara tidak proporsional sering diabaikan haknya untuk mendapatkan pendidikan, yang dapat mengurangi kemam­puan mereka untuk menikmati hak-hak kewarganega­raan mereka, mendapatkan pekerjaan dan mengambil peranan yang bernilai di masyarakat. Data survei rumah tangga dari 13 negara berpenghasilan rentan dan menengah menunjukkan bahwa anak-anak penyandang disabilitas usia antara 6–17 tahun secara signifikan berkemungkinan kecil akan dimasukkan ke sekolah dibandingkan rekan-rekan mereka yang tidak penyandang disabilitas.
 Menurut Marchant (2001) dalam aspek pendidikan beberapa hasil kajian menunjukkan bahwa akses anak disabilitas ke sistem pendidikan sangat rendah. Rendahnya akses terhadap pendidikan disebabkan karena berbagai faktor, seperti minimnya ketersediaan sekolah khusus bagi ADD (Anak Dengan Disabilitas) (Survey ILO, 2010). Sedangkan bila akses ke sekolah umum, anak mengalami hambatan psikologis, dan faktor ketidaksediaan sekolah menerima ADD (Anak Dengan Disabilitas).
Secara formal, akses pendidikan non-diskriminatif bagi penyandang disabilitas sudah dijamin oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusi. Kebijakan ini memungkinkan penyandang disabilitas untuk mengakses pendidikan bersama dengan siswa umum, sesuai dengan kemampuan penyandang disabilitas. Pendidikan inklusi di Indonesia sudah diterapkan pada semua jenjang pendidikan, mulai dari Pendidikan Usia Dini hingga Perguruan Tinggi. Namun, pada pelaksanaan dan penerapanya masih belum signifikan diterapkan diberbagai sekolah.
Sebagai contoh, dari hasil wawancara dengan tiga orang guru Sekolah Semesta Hati yang merupakan salah satu sekolah inklusi di Kota Cimahi, ditemukan beberapa fakta sebagai berikut:
1. Dari total 67 siswa yang bersekolah di SD-SMP Sekolah Semesta Hati, 30% diantaranya adalah ADD (Anak Dengan Disabilitas) yang berkebutuhan khusus. Anak-anak dengan disabilitas yang mendaftar di sekolah ini seluruhnya diterima karena telah ditolak oleh beberapa sekolah inklusi lain. Biaya masuk Sekolah Semesta Hati bagi anak dengan disabilitas disamakan dengan siswa regular sejumlah 6 juta rupiah dan SPP bulanan 400 ribu rupiah, ditambah biaya helper antara 250-400 ribu rupiah/bulan tergantung kondisi dan kebutuhan siswa.
2. Sekolah Semesta Hati memiliki satu orang psikolog dan satu orang guru pendamping khusus untuk membantu pembelajaran klasikal di kelas berlatar belakang pendidikan Bahasa Indonesia. Karena keterbatasan sumberdaya manusia, guru kelas difungsikan juga sebagai guru pendamping karena semua guru mencoba belajar untuk menangani semua anak.
3. Program pendidikan untuk anak dengan disabilitas di Sekolah Semesta Hati utamanya untuk mengembangkan sosialisasi, mengalami konflik, problem solving, mencari minat dan bakat, gaya belajar, serta kemungkinan karir yang dapat dijalani sang anak nantinya. Secara teknis pembelajaran harus menyenangkan, menggali potensi, menguatkan kelebihan, dan disesuaikan dengan kemampuan anak.
4. Sebagai sekolah inklusi, Sekolah Semesta Hati belum mendapatkan bantuan dari pemerintah. Padahal sarana dan prasarana yang tersedia dirasa belum cukup memenuhi kebutuhan para siswa terutama anak dengan disabilitas. Untuk tempat saja, hingga kini Sekolah Semesta Hati harus menyewa lahan untuk dijadikan sekolah karena belum mempunyai lahan sendiri dan selama 6 tahun berjalan, sekolah ini sudah 3 kali pindah tempat.
5. Sekolah Semesta Hati mengharapkan pemerintah lebih memperhatikan pendampingan dan pemetaan yang sejati terkait sekolah inklusi. Selain itu bantuan terkait sarana dan prasarana juga dana atau tunjangan bagi sekolah dan guru-gurunya sangat dibutuhkan. Pada intinya, dukungan pemerintah untuk sekolah inklusi harus ditingkatkan seperti yang dilakukan pada sekolah-sekolah negeri atau unggulan. (Hasil Wawancara, September 2014)
Kondisi ini tentunya tidak boleh dibiarkan begitu saja karena anak disabilitas memiliki hak yang sama dengan anak normal lainnya untuk mendapatkan kesempatan dan peluang tumbuh kembang yang optimal. Profesi pekerja sosial yang memiliki fokus kepada peningkatan kefungsian sosial dengan pendekatan yang holistic dan tertumpu pada bagaimana seorang pekerja sosial meningkatkan keberfungsian keluarga dan lingkungan sekitar anak dalam memberikan dukungan sosial, sehingga berimplikasi kepada perkembangan ADD (Anak Dengan Disabilitas).
Dukungan sosial dari keluarga maupun sekitaran anak selaras dengan prinsip person in environment or person in situation (Charles H. Zastrow, 2004 ; Brenda DuBois, 2005). Bahwa pekerja sosial memandang ADD (Anak Dengan Disabilitas) tidak boleh terlepas dari lingkungan sekitar atau situasi yang dihadapinya. Peran pekerja sosial menjadi penting karena memiliki peluang besar untuk bekerja bersama keluarga dan masyarakat.
Perlunya intervensi dari pekerja sosial untuk melakukan pendampingan bagi keluarga dengan anak disabilitas. Keluarga yang memiliki anak disabilitas terkadang mereka dihadapkan kepada persoalan sosial psikologis akibat kedisabilitasan anaknya. Khususnya pada keluarga-keluarga miskin dengan ibu bapak yang tidak memiliki akses terhadap pelayanan dan solusi masalah. Pekerja sosial ini bisa difungsikan untuk melakukan pendampingan psikososial, dengan melakukan beberapa aktivitas terhadap keluarga dan anak-anak disabilitas, diantaranya yaitu :
a.    Konseling keluarga maupun individual, untuk membantu anak dan keluarga menyelesaikan permasalahan sosial dan psikologis.
b.     Pendidikan pengasuhan anak dengan kedisabilitasan (parenting skill)
c.       Pengajaran activity daily living (ADL)
d.  Peningkatan pengetahuan ibu dan bapak tentang masalah kedisabilitasan, hak dan keperluan khusus anak disabilitas, serta pentingnya dukungan ibu bapak terhadap perkembangan anak dengan kedisabilitasan.
e.  Membantu akses anak disabilitas kepada pendidikan, kesehatan maupun bermain dan rekreasi, karena pelayanan publik di Indonesia belum responsif terhadap masyarakat dengan keperluan khusus, termasuk bagi anak dengan kedisabilitasan.
f.   Mengidentifikasi potensi, bakat dan minat anak dengan kedisabilitasan dan membantu akses untuk pengembangan potensi, bakat dan minat anak tersebut.
g.  Membantu akses keluarga terhadap pelayanan-pelayanan yang dibutuhkan baik oleh keluarga maupun dibutuhkan anak.  

Selain itu, dibutuhkan kerjasama antara pihak terkait sehingga tidak ada diskriminasi, pelanggaran hak dan tindak kekerasan terhadap ADD (Anak Dengan Disabilitas). Sehingga ADD (Anak Dengan Disabilitas) dapat hidup dan berprestasi sama seperti anak-anak yang lainnya.


DAFTAR PUSTAKA

http://enje14.wordpress.com/2013/10/31/122/ diunduh pada tanggal 12 September 2014 pukul 11:21
http://www.unicef.org/indonesia/id/SOWC_Bahasa.pdf diunduh pada tanggal 11 September 2014 pukul 21:36





Tidak ada komentar:

Posting Komentar