Pemenuhan
Kebutuhan Anak Berhadapan dengan Hukum
Anita Listyani 170310110014
Cyntia
Shapierina 170310110025
Akbar
Kusumawardana 170310110041
Aziza
Trizilvania A. 170310110061
Melisa Amalia A. 170310110078
Program Studi
Ilmu Kesejahteraan Sosial
Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik
Universitas
Padjadjaran
Abstrak
Banyak faktor yang memungkinkan bagi anak untuk melakukan kenakalan dan kegiatan kriminal yang dapat membuat mereka terpaksa berhadapan dengan hukum dan sistem peradilan, baik sebagai pelaku maupun korban. Dalam artikel ini membahas tentang pemenuhan kebutuhan anak yang berhadapan dengan hukum. Hal ini dilatarbelakangi oleh banyaknya kasus peradilan anak, dimana masih belum terpenuhinya hak-hak dan kebutuhan anak yang seharusnya diupayakan pemenuhannya oleh pihak keluarga anak tersebut, masyarakat, dan lembaga hukum yang menaungi kasusnya. Karena anak-anak yang berhadapan dengan hukum ini juga memiliki kebutuhan layaknya anak-anak biasa. Artikel ini juga membahas bahwa pemenuhan kebutuhan anak disesuaikan dengan rentang usia mereka sebagai remaja.
PENDAHULUAN
Anak
bermasalah hukum yang dimaksudkan dalam kajian ini merujuk pada konsep “anak
yang berhadapan dengan hukum” yang digunakan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002. Pada Pasal (64) ayat (1) disebutkan bahwa anak yang berhadapan dengan
hukum meliputi anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana. Sesuai dengan delik hukum, konflik
hukum yang dialami oleh anak-anak maupun orang dewasa, pada umumnya merupakan
konsekuensi dari tindakan atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukannya.
Atas perbuatan tersebut, pelakunya dapat diancam dengan sanksi atau hukuman
sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Dalam konteks hukum pidana, tindakan
atau perbuatan melanggar hukum tersebut dikategorikan sebagai tindak pidana,
sedangkan sanksi hukumannya disebut sebagai pidana. Anak yang melakukan tindak
pidana atau perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak dalam Undang-Undang
Nomor 3 Tahun1997 Tentang Pengadilan Anak disebut sebagai anak nakal. Sedangkan
yang dikategorikan sebagai anak adalah mereka yang telah mencapai umur
8(delapan) tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah
kawin.
Hampir
serupa dengan UU, Depsos memberi pengertian bahwa anak yang berhadapan dengan
hukum adalah anak yang termasuk pada kategori anak nakal, pelaku tindak pidana,
yang beradasarkan hasil penyelidikan atau pemeriksaan aparat penegak hukum
membutuhkan pembinaan di panti sosial. Menurut UU terbaru No 11 tahun 2012 anak
yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas)
tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan
tindak pidana. Tindak pidana, dalam konteks hukum pidana merupakan tindakan
atau perbuatan melanggar hukum sedangkan sanksi hukumannya disebut sebagai
pidana.
PEMBAHASAN
Usia
anak yang berhadapan dengan hukum berkisar antara usia 12-18 tahun. Sesuai dengan usianya, maka anak
yang berhadapan dengan hukum dikategorikan sebagai remaja. Akan tetapi istilah
remaja tidak dikenal dimata hukum. Menurut
tahap perkembangan, usia ini dikategorikan sebagai remaja dimana Hurlock
(1980:206) mengemukakan usia remaja
terbagi atas remaja yang awal berlangsung kira-kira dari usia 13- 16/17 tahun
sedangkan akhir masa remaja bermula dari usia 16/17-18 tahun, dimana akhir
remaja merupakan periode yang sangat singkat.
Dalam
hal ini, Erikson memiliki beberapa tahapan perkembangan yang menurutnya akan
dilalui oleh setiap manusia, dalam tahap kelima yang merupakan tahap remaja,
dimulai pada saat puber dan berakhir di usia 18 atau 20 tahun. Masa ini
ditandai dengan adanya kecenderungan identity
– identity confusion. Menurutnya masa ini merupakan masa yang mempunyai
peranan penting, karena melalui tahap ini orang harus mencapai tingkat
identitas ego, dalam pengertiannya identitas pribadi berarti mengetahui siapa
dirinya dan bagaimana cara seseorang terjun ke tengah masyarakat.
Selain itu,
Elizabeth Hurlock (1980:206) mengemukakan bahwa masa remaja mempunyai arti yang
lebih luas,mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik. Garrison
(didalam Andi Mapiarre, 1982) menjelaskan setidaknya ada tujuh kebutuhan khas remaja,
yaitu :
- Kebutuhan akan kasih sayang
- Kebutuhan akan keikutsertaan dan diterima dalam kelompok
- Kebutuhan untuk berdiri sendiri
- Kebutuhan untuk berprestasi
- Kebutuhan akan pengakuan dari orang lain
- Kebutuhan untuk dihargai, dan
- Kebutuhan memperoleh falsafah hidup yang utuh
Anak yang berhadapan dengan hukum
(ABH) tidak jauh berbeda dengan anak-anak biasa. Sehingga kebutuhan mereka
masih sama dengan kebutuhan anak lainnya. Kebutuhan anak yang berhadapan dengan
hukum sebagai remaja perlu diperhatikan, karena untuk memenuhi kebutuhannya
cenderung lebih membutuhkan perhatian khusus dari lingkungannya. Terkait dengan
kebutuhan anak dalam upaya memberikan perlindungan terhadap anak yang
berhadapan dengan hukum, sistem peradilan pidana anak harus dimaknai secara
luas, ia tidak hanya dimaknai hanya sekedar penanganan anak yang berhadapan
dengan hukum semata. Namun sistem peradilan pidana anak harus juga dimaknai
mencakup akar permasalahan (root causes) mengapa anak melakukan
perbuatan pidana dan upaya pencegahannya.
Lebih jauh, ruang
lingkup sistem peradilan pidana anak mencakup banyak ragam dan kompleksitas isu
mulai dari anak melakukan kontak pertama dengan polisi, proses peradilan,
kondisi tahanan, dan reintegrasi sosial, termasuk pelaku-pelaku dalam proses
tersebut. Pemenuhan kebutuhan ini membutuhkan peran serta dari orang tua,
keluarga, masyarakat, pemerintah, bahkan negara.
Komite Hak Anak
mengintepretasikan bahwa sistem peradilan pidana yang bersifat khusus ini
merupakan upaya perlindungan khusus karena anak yang berhadapan dengan hukum
dikategorikan sebagai kelompok rentan (vulnerable groups). Kerentanan
anak yang berhadapan dengan hukum menjadi rasionalitas dan justifikasi bagi
Komite Hak Anak untuk menekan negara mengupayakan suatu konstruksi sistem
peradilan pidana yang memberikan perlindungan khusus. Hal ini disebabkan
anak-anak rentan menjadi korban tindak kekerasan oleh aparat penegak hukum
manakala ia ditangkap dan ditahan, seperti: pemukulan, penyiksaan, atau
tindakan lain yang kejam dan tidak manusiawi. Pada titik ini pula anak
seringkali tidak didampingi atau tanpa kehadiran orang tuanya, pekerja sosial
atau pengacara sehingga risiko mengalami kekerasan dan intimidasi semakin
tinggi.
Hal ini dapat dilihat
pada kasus yang terjadi di Sumatera Utara pada tanggal 11 Maret 2013.
SL (15 tahun) gadis penyandang disabilitas tunarungu dan tunawicara, merupakan korban pemerkosaan yang dilakukan BW dan PT hingga hamil. Dalam persidangan, hakim tetap menggunakan pakaian persidangan, dan keluarga pelaku yang berasal dari keluarga militer, menggunakan seragam lengkap, juga membawa pasukannya yang dapat bebas keluar-masuk ruang persidangan. Sehingga hal ini membuat saksi yang berusia 13, 15, dan 16 tahun, juga korban ketakutan untuk diperiksa.
Dalam
kasus ini, hakim yang bertugas untuk mengadili tidak memperhatikan kebutuhan
dari anak yang berhadapan dengan hukum tersebut, hal ini terlihat dari pakaian
yang dikenakan oleh hakim. Seharusnya dalam persidangan anak, hakim tidak boleh
mengenakan pakaian persidangan, untuk menghindari suasana menekan anak agar
kondisi psikisnya tidak terganggu. Selain itu, keluarga tersangka juga
mengabaikan kebutuhan anak berhadapan dengan hukum untuk dihargai.
KESIMPULAN / SARAN
Dengan demikian dari hasil
pembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa anak yang berhadapan dengan
hukum, rentang usianya dari 12-18 tahun. Akan tetapi menurut beberapa ahli,
usia tersebut termasuk dalam usia remaja. Dalam menangani anak yang berhadapan
dengan hukum, maka pelaku-pelaku yang terkait harus mempertimbangakan kebutuhan
dan hak anak yang berhadapan dengan hukum, karena anak yang berhadapan dengan
hukum pada hakikatnya sama dengan anak pada umumnya. Kebutuhan dan hak anak
yang berhadapan dengan hukum yaitu mendapatkan perlindungan serta terpenuhinya
hak anak pada saat peradilan pidana. Sistem peradilan pidana bagi anak bersifat
khusus, hal ini sebagai bentuk dari perlindungan khusus bagi anak yang
berhadapan dengan hukum karena anak yang berhadapan dengan hukum dikategorikan
sebagai kelompok rentan. Dalam berbagai kasus anak yang berhadapan dengan hukum
tidak sedikit anak tersebut tidak di dampingi oleh keluarga serta pekerja
sosial. Oleh sebab itu anak yang berhadapan dengan hukum harus mendapatkan
dukungan serta pendampingan dari keluarga dan pihak-pihak terkait dengan anak
yang berhadapan dengan hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Kementerian Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP&PA). Profil anak indonesia 2013. Jakarta: PT. Desindo Putra Mandiri http://www.menegpp.go.id/v2/index.php/daftar-buku/profil-anak, di unduh 13 September 2014 pada pukul 08.51 WIB
Mappiare, Andi. 1982.
Psikologi Remaja. Surabaya:Usaha Nasional
Hambali, Adang dan Jaenudin,
Ujam. Psikologi Kepribadian: Studi atas Teori dan Tokoh Psikologi Kepribadian.
2013. Bandung: Pustaka Setia.
http://www.ypha.or.id/web/wp-content/uploads/2011/04/Anak-yang-Berhadapan-dengan-Hukum-dalam-Perspektif-Hukum-HAM-Internasional3.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar